Pakar Farmasi Beber Dugaan Biang Kerok Ginjal Akut Misterius

Pakar Farmasi Beber Dugaan Biang Kerok Ginjal Akut Misterius

Tim detikHealth - detikBali
Minggu, 16 Okt 2022 06:14 WIB
Ilustrasi anak sakit
Ilustrasi anak sakit. Foto: Thinkstock
Denpasar -

Pakar farmasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Zullies Ikawati menduga parasetamol menjadi penyebab munculnya gangguan ginjal akut misterius. Hal tersebut menyusul laporan 131 anak di seluruh Indonesia terkena ginjal akut misterius, dan Bali melaporkan ada 11 pasien yang meninggal.

Gejala yang ditemukan pada pasien gangguan ginjal akut misterius adalah batuk, pilek, dan tidak kencing dalam beberapa waktu. Hal tersebut yang membuat muncul dugaan para orang tua memberikan parasetamol kepada anak-anak mereka untuk meredakan batuk dan pilek malah menyebabkan gagal ginjal seperti kasus 70 anak meninggal di Gambia, Afrika Barat.

Dikutip dari detikHealth, Prof Zullies menjelaskan parasetamol atau asetaminofen adalah obat yang bekerja menurunkan demam dan menghilangkan nyeri. Overdosis parasetamol bisa terjadi pada kasus konsumsi berulang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun pun terjadi toksisitas, umumnya pada hati (liver), bukan ginjal. Prof Zullies menduga, ada zat selain parasetamol dalam obat tersebut yang menjadi pemicu.

"Dugaan saya, bukan parasetamolnya yang berbahaya, tapi mungkin ada bahan lain yang menyebabkan risiko kematian. Berdasarkan analisis laboratorium WHO, ditemukan bahan berbahaya, seperti dietilen glikol dan etilen glikol yang terkandung dalam obat batuk tersebut. Dalam kadar tinggi, kandungan bahan itu bisa menyebabkan gagal ginjal akut," jelas Prof Zullies dalam keterangan tertulis, seperti dikutip dari detikHealth, Minggu (16/10/2022).

"Di Indonesia, penggunaan dietilen glikol maupun etilen glikol sebagai zat tambahan sudah diatur batasan kadarnya, sehingga mestinya tidak ada masalah keamanan. Adanya peningkatan kejadian anak-anak yang mengalami gagal ginjal akut di Indonesia yang diberitakan belakangan ini belum bisa dihubungkan dengan penggunaan obat, dan masih perlu diinvestigasi lebih lanjut," pungkasnya.

Prof Zullies juga memaparkan, efek racun dietilen glikol dan etilen glikol bisa berupa sakit perut, muntah, diare, ketidakmampuan untuk buang air kecil, sakit kepala, perubahan kondisi mental dan cedera ginjal akut yang dapat menyebabkan kematian. Namun, kondisi tersebut baru bisa timbul jika zat dikonsumsi dalam kadar berlebihan.

Wanti-wanti Dinkes Bali soal Ginjal Akut Misterius Sebabkan 11 Pasien Meninggal

Bali melaporkan ada sebanyak 11 pasien gangguan ginjal akut misterius atau Acute Kidney Injury (AKI) yang meninggal yang rata-rata adalah balita. Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Bali mewanti-wanti masyarakat khususnya para orang tua yang memiliki anak di bawah umur 6 tahun agar waspada.

ADVERTISEMENT

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali I Nyoman Gede Anom menjelaskan gejala ginjal akut misterius yakni batuk, pilek, dan tidak kencing selama beberapa waktu. Ia menegaskan bahwa batuk pilek saat untuk tidak dianggap sebagai penyakit biasa.

"Kami anjurkan bagi yang mengalami gejala tersebut agar segera berobat ke faskes karena sudah disiapkan obat khusus. Jangan beli obat sendirilah, dan sekarang ini harus hati-hati. Apalagi yang punya anak di bawah 5 tahun untuk jangan mengobati sendiri," ungkap Anom, Sabtu (16/10/2022).

Lebih lanjut dijelaskan, Dinkes Bali melakukan berbagai upaya agar ke depan kejadian serupa dapat diantisipasi menyusul gejala ginjal akut misterius telah diketahui.

"Pertama, kami dengan IDAI Indonesia, khususnya Bali telah meminta agar menjaga betul-betul kasus ini tak terjadi. Kedua, kami dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota akan mendeteksi sedini mungkin gejala penyakit ini," papar anom.

Sementara itu, kata Anom, IDAI Indonesia juga telah melakukan koordinasi, dan menyebut salah satu faktor di balik anak-anak mengalami penyakit tersebut dikarenakan mereka belum mendapatkan vaksinasi COVID-19, sehingga antibodinya belum terbentuk.

"Kami masih menunggu (informasi penyebab pastinya) dari Kemenkes dan IDAI. Lalu untuk cuci darah baru ada di RSUP Prof Ngoerah karena di faskes kabupaten/kota belum bisa. Tapi, yang penting saat ini bukanlah penanganannya, tapi deteksi dini," jelasnya.




(nor/hsa)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads