137 Karyawan Grand Inna Bali Beach Minta Kembali Dipekerjakan

137 Karyawan Grand Inna Bali Beach Minta Kembali Dipekerjakan

Ni Made Lastri Karsiani Putri - detikBali
Sabtu, 30 Jul 2022 15:23 WIB
Mediasi karyawan Grand Inna Bali Beach (GIBB) yang menolak adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh PT Hotel Indonesia Natour selaku pengelola GIBB di Grand Inna Heritage Hotel, Denpasar, Sabtu (30/7/2022).
Mediasi karyawan Grand Inna Bali Beach (GIBB) yang menolak adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh PT Hotel Indonesia Natour selaku pengelola GIBB di Denpasar, Sabtu (30/7/2022). (Foto: Ni Made Lastri Karsiani Putri/detikBali)
Denpasar -

Sebanyak 137 karyawan Grand Inna Bali Beach (GIBB) yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh PT Hotel Indonesia Natour selaku pengelola GIBB, menyampaikan tuntutannya melalui mediasi, Sabtu (30/7/2022). Mereka menolak adanya PHK dan meminta untuk dipekerjakan kembali.

Juru bicara sekaligus salah satu karyawan GIBB yang terkena PHK, Made Karta (44) menyampaikan kalaupun memang harus tetap di-PHK, pihaknya meminta agar pesangon yang diberikan mengacu pada Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

"Kami juga inginnya dari 137 teman-teman ini atau mungkin kalau tidak semuanya, khususnya teman-teman yang masih muda, agar ada kesempatan kembali bekerja," ucap Made Karta ketika ditemui detikBali usai acara mediasi di Grand Inna Heritage Hotel, Denpasar, Bali.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, dalam mediasi tadi, pihak managemen masih tetap bersikukuh dengan kebijakan PHK tersebut. Akibatnya, mediasi belum menemukan titik terang bagi kedua belah pihak. Terkait itu, pihaknya dan manajemen juga akan kembali mengadakan pertemuan selanjutnya.

Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM Provinsi Bali, Ida Bagus Ngurah Arda yang turut hadir dalam mediasi tersebut mengatakan, pihaknya mengaku bersikap netral dan tidak memihak pihak mana pun. Namun, ia berharap agar tidak sampai terjadi PHK. Terlebih dengan adanya Surat Edaran Gubernur Bali pada 10 Juni 2020 yang tidak memperkenankan perusahaan melakukan PHK dengan alasan pandemi COVID-19.

ADVERTISEMENT

"Oke lah kalau dirumahkan dan dibayar penuh gaji pokoknya. Tapi pihak perusahaan mengaku tidak mampu sehingga pemerintah menawarkan agar tidak membayar penuh karyawan yang dirumahkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. Karena kalau dirumahkan dan tidak bekerja, wajar kalau upahnya disesuaikan. Itu permintaan kita, tapi mungkin hal ini yang belum bisa diputuskan," ujarnya.

Menurutnya, jika salah satu tidak menyetujui tawaran tersebut, salah satu pihak diperkenankan untuk mencatatkan hal tersebut ke pengadilan hubungan industrial. Namun demikian, kata dia, tahapan ke pengadilan hubungan industrial memerlukan waktu yang panjang.

"Selama ini ada hotel yang kasusnya sama seperti ini dan kita berikan anjuran yang sama untuk jangan PHK, tapi dirumahkan dengan besaran dan cara pembayaran gajinya disepakati bersama. Sehingga tidak ada yang sampai ke pengadilan," ungkapnya.

Komisi VI DPR RI, I Nyoman Parta yang hadir dalam acara tersebut sempat memberikan tawaran kepada pihak manajemen agar menggelar pelatihan-pelatihan bagi karyawan yang telah di-PHK. Menurutnya, proses mediasi tidak cukup satu kali ini saja. Ia berharap dilakukan kembali mediasi kedua hingga kedua belah pihak menemukan kesepakatan.

"Pihak manajemen menyepakati kalau akhirnya terjadi PHK lalu karyawan mendapatkan pesangon agar pesangonnya bisa dikelola. Biasanya kan mungkin mereka ngelola uang Rp 1 juta lalu tiba-tiba ngelola uang Rp 50 juta dan langsung jadi mental bos, beli ini dan beli itu. Banyak pengalaman seperti itu sehingga dibutuhkan pelatihan kewirausahaan," terangnya.




(iws/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads