Kadisbud Bali Sebut Tak Semua Barong dan Rangda Sakral

Kadisbud Bali Sebut Tak Semua Barong dan Rangda Sakral

Triwidiyanti - detikBali
Minggu, 17 Jul 2022 11:27 WIB
Atraksi budaya berupa tarian barong dan rangda dari Desa Adat Intaran saat melakukan aksi demonstrasi penolakan terminal LNG di kawasan mangrove di depan Kantor Gubernur Bali, Denpasar, Kamis (14/7/2022).
Atraksi budaya berupa tarian barong dan rangda dari Desa Adat Intaran saat melakukan aksi demonstrasi penolakan terminal LNG di kawasan mangrove di depan Kantor Gubernur Bali, Denpasar, Kamis (14/7/2022). (Foto: I Wayan Sui Suadnyana/detikBali)
Denpasar -

Aksi penolakan lokasi terminal liquefied natural gas (LNG) oleh krama Desa Adat Intaran yang menampilkan barong dan rangda menuai beragam respons. Sebelumnya, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali menyesalkan demonstrasi tersebut lantaran dianggap membawa simbol Ida Bhatara yang disakralkan umat Hindu di Bali.

Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Gede Arya Sugiartha mengungkapkan, tidak semua barong dan rangda sakral. Menurutnya, demo yang dilakukan warga Intaran itu menggunakan barong dan rangda yang tidak sakral alias profan.

"Demo pakai barong itu pasti barong biasa (tidak sakral). Kalau barong sakral, pasti tidak diberi izin oleh perangkat desanya," kata Sugiartha saat dihubungi detikBali, Minggu (17/7/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sugiartha menjelaskan, ada beberapa jenis barong maupun rangda yang dapat digunakan untuk kebutuhan hiburan. Oleh karenanya, barong maupun rangda yang tidak untuk keperluan ritual, maka dibuatkan duplikatnya. Barong dan rangda duplikat itu biasa dipentaskan di hotel-hotel dan diperjualbelikan di artshop-artshop.

"Yang sakral tetap sakral. Tapi misalnya dia untuk kebutuhan hiburan, kebutuhan turis, dibuatkan duplikat gitu. Bukan berubah menjadi profan," imbuhnya.

Menurutnya, barong dan rangda yang disakralkan melewati proses sakralisasi (pasupati). Berbeda halnya dengan duplikat barong dan rangda yang pembuatannya untuk hiburan, tidak melalui ritual sakralisasi.

"Ada upacaranya sesuai tradisi orang Bali. Disucikan, diupacarai, itu namanya proses sakralisasi. Barulah dia menjadi sesuatu yang sakral. Kalau dia tidak diupacarai melalui proses, dia bukan sakral," ungkapnya.

"Imbauan saya, segala sesuatu bisa dibicarakan. Kalau memang terpaksa harus demo, jangan menggunakan simbol-simbol sakral, gitu aja," imbuhnya.

Diberitakan sebelumnya, aksi penolakan lokasi terminal LNG yang dilakukan di depan Kantor Gubernur Bali, Kamis (14/7/2022) disesalkan oleh PHDI Bali. Pasalnya, aksi yang diikuti oleh krama Desa Adat Intaran, Denpasar, itu dianggap membawa simbol Ida Bhatara yang disakralkan umat Hindu di Bali.

Selain menyesalkan adanya warga yang mundut (mengusung) pralinggan Ida Batara saat aksi penolakan lokasi LNG tersebut, PHDI Bali juga menyayangkan adanya adegan ngurek (menikam diri sendiri dengan keris) saat demonstrasi yang diikuti ratusan krama Desa Adat Intaran tersebut.

Hingga Sabtu 16/7/2022) malam, Bendesa Desa Adat Intaran belum bisa dimintai keterangan terkait barong dan rangda yang sempat dibawa saat aksi penolakan lokasi terminal LNG tersebut. Saat ini detikBali masih berusaha menghubungi Bendesa Desa Adat Intaran untuk menanyakan apakah barong dan rangda tersebut berupa sesuhunan (sakral) atau tidak.




(iws/iws)

Hide Ads