Luka Sunyi di Balik Jiwa 'Si Kancil' I Gusti Ngurah Rai

Liputan Khusus Puputan Margarana (7)

Luka Sunyi di Balik Jiwa 'Si Kancil' I Gusti Ngurah Rai

Agus Eka Purna Negara - detikBali
Sabtu, 22 Nov 2025 07:00 WIB
Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai (berdiri empat dari kiri) berpose bersama tekan seperjuangannya, dipotret dari arsip keluarga Puri Ngurah Rai Carangsari, Badung.
Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai (berdiri empat dari kiri) berpose bersama tekan seperjuangannya, dipotret dari arsip keluarga Puri Ngurah Rai Carangsari, Badung. (Foto: Agus Eka/detikBali)
Badung -

Sosok I Gusti Ngurah Rai kerap hadir dalam benak publik sebagai komandan yang teguh, berani, dan tak pernah goyah menghadapi kolonial. Ia memimpin Puputan Margarana dengan keberanian yang nyaris tak terbayangkan. Namun jauh sebelum menjadi pemimpin pasukan, ia adalah seorang anak muda yang membawa luka pribadi yang dalam.

Di balik seragam militernya, tersimpan riwayat kehilangan yang mengendap sejak masa remaja. Sebuah sisi sunyi yang ikut membentuk kepribadian sang pahlawan. Cucu Ngurah Rai, Anak Agung Nanik Suryani, membuka kembali lapisan perih itu ketika ditemui di Puri Ngurah Rai Carangsari.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Secara psikologis mungkin beliau masih dalam situasi sedih ya. Ayahnya meninggal, kakaknya meninggal, terus ibunya tinggal jauh," ujarnya, mengingat kisah yang diwariskan keluarganya.

Kehilangan pertama datang ketika Ngurah Rai masih belajar di Malang. Ayahandanya, I Gusti Ngurah Pacung, berpulang. Dua tahun kemudian giliran kakak tertua tutup usia. Ibunya, Desak Ayu Kompyang, dipaksa keadaan untuk mengungsi ke Mungsian, Kintamani, akibat tekanan kolonial. Ia baru kembali ke Carangsari setelah 1948.

ADVERTISEMENT

Kondisi batin itulah yang oleh keluarganya diyakini memperkuat tekad Pak Rai untuk bergabung dalam perjuangan. "Namun, semua itu beliau tinggalkan untuk bergabung dengan rakyat melawan penjajah," kata Nanik.

Masa Kecil: Lincah, Cerdas, dan Dijuluki 'Si Kancil'

Ngurah Rai kecil jauh dari gambaran bangsawan yang kaku. Ia lahir di Carangsari pada 30 Januari 1917 dan diberi nama kecil I Gusti Ngurah Gejer, merujuk gempa besar yang terjadi sebelas hari sebelum kelahirannya. Ia tumbuh bersama dua saudara laki-lakinya, I Gusti Ngurah Raka dan I Gusti Ngurah Anom Pacung.

Ia gemar gulat-gulatan dan pencak silat. Tubuhnya memang kecil, tetapi lincah, "nakal" dalam cara yang membuatnya selalu menang bila beradu fisik dengan teman-temannya di puri.

Bakatnya tak berhenti pada bela diri. Ngurah Rai adalah pemain sepak bola ulung. Bersama kakaknya ia membentuk klub Edo. Di lapangan, ia dikenal sebagai penyerang gesit yang sering menentukan kemenangan.

Dalam catatan I Wayan Sudarta, kecerdasan Ngurah Rai juga mencolok sejak sekolah. Bahasa Belanda ia kuasai dengan baik, termasuk kemampuan berhitung yang diakui teman-temannya.

Setelah HIS di Denpasar, ia dijuluki 'Si Kancil'-lincah, cepat berpikir, cerdik menghadapi situasi apa pun. Julukan itu melekat hingga dewasa.

Pendidikan Terputus, Hidup yang Bergeser

Patung Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai diabadikan di depan Puri Agung Carangsari, Kecamatan Petang, Badung.Patung Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai diabadikan di depan Puri Agung Carangsari, Kecamatan Petang, Badung. Foto: Agus Eka/detikBali

Pada usia 16 tahun, ia melanjutkan pendidikan ke MULO Malang. Namun masa belajar itu terhenti mendadak pada kelas dua ketika sang ayah meninggal dunia. Ia kembali ke Bali dan memulai perjalanan baru yang kelak mengubah hidupnya: dunia militer.

Ia masuk Officier's Opleiding Corps Prayoda di Gianyar tahun 1936. Empat tahun kemudian ia melanjutkan ke pendidikan Luchtdoel Arteleris di Malang. Di kedua tempat itu kecerdasannya kembali mencuri perhatian. Para pengajar menempatkannya sebagai kader unggulan, seorang perwira muda berkelas tinggi.

Ia bahkan sempat menjadi anggota Pasukan Prajuda bentukan Belanda. Dari sana ia melihat langsung kekejaman kolonial terhadap rakyat. Pengalaman itu menumbuhkan semangat kebangsaan yang semakin membara. Ketika Jepang masuk Bali pada 1942, ia memilih keluar dari pasukan Belanda.

Gusti Ayu Agung Inda Trimafo Yudha, cucu dari putra bungsunya, membenarkan cerita itu. Menurutnya, keahlian Ngurah Rai dalam bahasa asing dan komunikasi menjadi aset besar dalam perjuangan.

"Yang menarik adalah beliau itu sangat pintar dalam berbahasa asing, seperti yang banyak saya dapat cerita dari orang yang mengenal," tutur Inda.

Kemampuan itu membuatnya pernah menjadi penerjemah mendadak ketika Belanda berurusan dengan tentara Inggris yang menyeberang. Dari sanalah aksesnya ke lingkaran pimpinan Belanda terbuka-ironi yang kemudian ia gunakan untuk kepentingan perjuangan.

"Bagaimana beliau meyakinkan pasukan-pasukannya untuk bisa ikut dengan beliau... itu perlu komunikasi yang kuat," jelas Inda.

Jejak Emansipasi Ibunda dan Fondasi Karakter

Inda juga menyoroti figur nenek buyutnya, Kompyang, sebagai perempuan cerdas dan sangat disiplin. Ia sosok ibu yang menekankan pendidikan dan etika sejak dini. "Jadi, ibu beliau memang pendidik yang baik. Mengutamakan edukasi, disiplin," ujarnya.

Pengaruh kuat sang ibu diyakini menjadi fondasi etika Ngurah Rai sebagai pemimpin: tegas tapi menghormati rakyat, keras pada diri sendiri tapi dekat dengan pasukannya.

Nanik mengisahkan, Ngurah Rai memiliki prinsip sederhana: pasukan lebih dulu. Dalam situasi apa pun, ia memastikan anak buahnya makan sebelum ia sendiri.

"Kadang-kadang kalau umpamanya makan, mungkin pasukannya dulu baru beliau," ujar Nanik.

Saat kelaparan melanda gerilya, ia tegas melarang pasukannya mengambil makanan rakyat. "Jangan sampai merugikan rakyat, kalau dikasih baru terima," katanya.

Keteladanan itu membuat para pejuang rela mengikuti komando Ngurah Rai tanpa gaji, tanpa jaminan keselamatan, dan dengan risiko mati yang selalu mengintai.

"Beliau mampu mengajak orang-orang biarpun tidak digaji dan tahu resikonya mati, ikut bergabung melawan penjajah," tutup Nanik.

Di antara semua cerita helat dan strategi perjuangan, sisi manusianya inilah yang jarang terdengar. Luka batin masa remaja, kecerdasan sejak kecil, kedekatan dengan rakyat, dan kemampuannya merawat keberanian orang lain-semua itu membangun jiwa seorang pemimpin yang kemudian gugur di medan Puputan Margarana.

Halaman 2 dari 3


Simak Video "Video Dampak Listrik Bandara Ngurah Rai Bali Padam: 74 Penerbangan Delay"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/iws)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads