Sosok I Gusti Ngurah Rai kerap hadir dalam benak publik sebagai komandan yang teguh, berani, dan tak pernah goyah menghadapi kolonial. Ia memimpin Puputan Margarana dengan keberanian yang nyaris tak terbayangkan. Namun jauh sebelum menjadi pemimpin pasukan, ia adalah seorang anak muda yang membawa luka pribadi yang dalam.
Di balik seragam militernya, tersimpan riwayat kehilangan yang mengendap sejak masa remaja. Sebuah sisi sunyi yang ikut membentuk kepribadian sang pahlawan. Cucu Ngurah Rai, Anak Agung Nanik Suryani, membuka kembali lapisan perih itu ketika ditemui di Puri Ngurah Rai Carangsari.
"Secara psikologis mungkin beliau masih dalam situasi sedih ya. Ayahnya meninggal, kakaknya meninggal, terus ibunya tinggal jauh," ujarnya, mengingat kisah yang diwariskan keluarganya.
Kehilangan pertama datang ketika Ngurah Rai masih belajar di Malang. Ayahandanya, I Gusti Ngurah Pacung, berpulang. Dua tahun kemudian giliran kakak tertua tutup usia. Ibunya, Desak Ayu Kompyang, dipaksa keadaan untuk mengungsi ke Mungsian, Kintamani, akibat tekanan kolonial. Ia baru kembali ke Carangsari setelah 1948.
Kondisi batin itulah yang oleh keluarganya diyakini memperkuat tekad Pak Rai untuk bergabung dalam perjuangan. "Namun, semua itu beliau tinggalkan untuk bergabung dengan rakyat melawan penjajah," kata Nanik.
Masa Kecil: Lincah, Cerdas, dan Dijuluki 'Si Kancil'
Ngurah Rai kecil jauh dari gambaran bangsawan yang kaku. Ia lahir di Carangsari pada 30 Januari 1917 dan diberi nama kecil I Gusti Ngurah Gejer, merujuk gempa besar yang terjadi sebelas hari sebelum kelahirannya. Ia tumbuh bersama dua saudara laki-lakinya, I Gusti Ngurah Raka dan I Gusti Ngurah Anom Pacung.
Ia gemar gulat-gulatan dan pencak silat. Tubuhnya memang kecil, tetapi lincah, "nakal" dalam cara yang membuatnya selalu menang bila beradu fisik dengan teman-temannya di puri.
Bakatnya tak berhenti pada bela diri. Ngurah Rai adalah pemain sepak bola ulung. Bersama kakaknya ia membentuk klub Edo. Di lapangan, ia dikenal sebagai penyerang gesit yang sering menentukan kemenangan.
Dalam catatan I Wayan Sudarta, kecerdasan Ngurah Rai juga mencolok sejak sekolah. Bahasa Belanda ia kuasai dengan baik, termasuk kemampuan berhitung yang diakui teman-temannya.
Setelah HIS di Denpasar, ia dijuluki 'Si Kancil'-lincah, cepat berpikir, cerdik menghadapi situasi apa pun. Julukan itu melekat hingga dewasa.
Simak Video "Video Dampak Listrik Bandara Ngurah Rai Bali Padam: 74 Penerbangan Delay"
(dpw/iws)