Masjid At-Taqwa menjadi saksi bisu dakwah penyebaran Islam di Lerabaing, Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Masjid At-Taqwa sudah berdiri dan menjadi rumah ibadah bagi umat Islam di Lerabaing sejak ratusan tahun lalu.
Dengan usia bangunan yang sudah ratusan tahun itu, Masjid At-Taqwa tentu memiliki banyak kisah sejarah yang bisa digali mengenai penyebaran agama Islam di Alor.
Mulai dari cerita para jemaah, hingga situs bersejarahnya. Untuk informasi lebih lengkapnya, yuk simak penjelasan berikut!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah
Melansir dari sumber laman situsbudaya.id, Masjid At-Taqwa Lerabaing dibangun pada tahun 1619 hingga 1638 di wilayah Kerajaan Kui. Raja Kinanggi Atamalai yang memerintah saat itu turut mengawasi langsung pembangunan masjid.
Raja Kinanggi tidak sendirian. Ada Sultan Gimmales Gogo dari Maluku yang mendampingi Raja Kinanggi selama pembangunan masjid. Hal ini menjadi menarik karena Raja Kinanggi saat itu masih menganut kepercayaan Animisme.
Selama 6 tahun atau tepatnya pada 1625, proses pembangunan masjid, Raja Kinanggi memutuskan untuk memeluk agama Islam. Sultan Gimmales yang berperan membantu Raja Kinanggi menjadi mualaf.
Setelah memeluk agama Islam, Raja Kinanggi lalu menyebarkannya ke seluruh penjuru kerajaan Kui. Kemudian,pembangunan masjid sudah diselesaikan pada 1632.
Otomatis, masjid tersebut digunakan sebagai pusat dakwah para pembawa syiar ketika mereka mengenalkan Islam di Kabupaten Alor melalui perniagaan. Masyarakat senior di Kampung Lerabaing dan Sultan Kimie asal Desa Gogo, Ternate, Maluku yang menjadi inisiatornya.
Setelah RajaKinanggi dan SultanGimmalesGago wafat, mereka berdua dimakamkan di depan masjid At-TaqwaLerabaing.
Benda Bersejarah
Ada sejumlah benda bersejarah yang di dalam dan di sekitar area masjid. Antara lain, empat tongkat yang digunakan khutbah Jumat, khutbah Idul Fitri, khutbah Idul Adha, dan untuk memenangkan perang atau tolak bala.
Ada juga dua rotan yang berfungsi sebagai alat meluruskan shaf, mengusir makhluk halus, meredakan angin dan tombak. Kemudian, benda bersejarah berupa pustaka juga ada.
Tiga manuskrip khutbah ditemukan di dalam masjid. Masing-masing digunakan untuk khutbah Jumat, khutbah Idul fitri, dan khutbah Idul Adha.
Lalu, ada juga benda bersejarah lain berupa alat tajam. Yakni, tiga pisau yang masing-masing digunakan untuk menyembelih hewan kurban dan untuk mengkhitan.
Beberapa peralatan makan seperti piring, mangkuk, dan cangkir juga ditemukan di masjid tua itu. Ada juga perahu dan meriam yang dinamakan senjata Subhana.
Terdapat pula satu buah mushaf Al-quran dalam kondisi yang sudah rusak. Dacin dan tongkat untuk penimbangan zakat fitrah dan daging hewan qurban. Kayu untuk alas kepala hewan pada saat penyembelihan hewan qurban dan dua buah tasbih.
Arsitektur
Masjid kuno ini memiliki arsitektur khas Ternate. Keunikannya ada pada bentuk keempat sudut atap. Model ornamen yang berbeda di sudut atap melabangkan 4 suku yang mendiami Desa Wakapsir.
Sayang, kondisi bangunan secara keseluruhan sudah tidak seperti dahulu lagi. Sebab, usianya yang sudah ratusan tahun, membuat posisi bangunannya miring.
Karena posisi bangunan yang sudah miring, warga setempat menyebutnya Masjid Miring Lerabaing. Hal itu dapat terlihat pada tiang-tiang penyangga yang sudah miring.
Tidak diketahui pasti penyebab miringnya tiang penyangga. Meski demikian, masjid At-Taqwa ini masih terbilang kokoh.
Soal dimensi bangunan, masjid tersebut memiliki bentuk rumah panggung dengan ukuran 11x11 meter dan tinggi dari tanah ke lantai masjid setinggi 1,5 meter.
Tinggi keseluruhan bangunan masjid mencapai 15 meter dengan luas tanah 750 meter persegi.
Pada bagian depan bangunan terdapat tangga naik ke masjid dengan tangga dari batang lontar langsung menuju ke serambi masjid. Di lingkungan masjid juga terdapat makam Sultan Gimales Gogo, penyebar Islam di Pulau Alor yang datang dari Kesultanan Ternate.
Lokasi
Masjid tua ini terletak di Desa Wakapsir, Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Lokasi masjid ini berada di sebelah utara perbukitan yang curam dan perbatasan dengan Selat Ombai di sebelah selatan.
Lalu di sebelah baratnya merupakan perkebunan milik penduduk setempat dan sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Erbah.
Artikel ini ditulis oleh Annisa Anggraeni peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka MSIB di detikcom.
(nor/irb)