Masyarakat Minang di Sumatera Barat, biasa membuat lemang, yaitu makanan dari beras ketan yang dimasukkan dalam buluh bambu beralas daun pisang. Tradisi turun temurun ini, biasanya dibikin saat menyambut hari-hari besar, termasuk Bulan Suci Ramadan.
Dalam bahasa Minang, lemang disebut lamang, sehingga kebiasaan bikin lemang dikenal juga dengan Malamang. Malamang merupakan tradisi turun temurun masyarakat Minang sejak dulu.
Kebiasaan membuat makanan kaya gizi ini sering dilakukan saat acara-acara penting, seperti Lebaran, Maulid Nabi, pengangkatan penghulu adat dan acara besar lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lamang terbuat dari beras ketan yang dimasukkan dalam buluh bambu. Buluh-buluh bambu itu dialasi dengan daun pisang. Beras ketan kemudian disiram dengan santan kelapa yang telah diseduh dengan garam. Bambu kemudian dipanggang dengan perapian yang menggunakan kayu bakar atau sabut kelapa.
![]() |
Jenis lemang juga beragam. Selain lemang ketan, ada juga lemang pisang dan lemang ba-inti atau lemang berisi luwo atau parutan kelapa dari gula merah. Keseluruhan proses pembuatan sama dengan pembuatan lemang ketan.
"Lemang ini terbuat dari pulut atau beras ketan. Bahannya dicampur degan kelapa dan gula merah atau gula saka. Dimasukkan bambu, lalu dibakar. Proses pembakaran lemang berlangsung antara empat hingga lima jam. Lama, karena seluruh bagian bambu harus terbakar. Kalau tidak, tentu mentah dia," cerita One, salah seorang pembuat lemang.
One sudah membuat lamang sejak puluhan tahun lalu. Lamang yang dibuatnya dijual kepada orang yang membutuhkan.
![]() |
Di beberapa belahan perkampungan, kebiasaan malamang atau bikin lemang bersama-sama masih terjaga dengan baik. Namun di daerah perkotaan seperti Padang, sudah cukup jarang ditemui. Warga cenderung memesan lemang dari para pedagang yang sengaja membuatnya dalam jumlah banyak. Salah satunya dari tempat One yang ada di kawasan seberang Padang, Kecamatan Padang Selatan ini.
Hari-hari seperti menjelang bahkan hingga memasuki Bulan Suci Ramadan, permintaan akan lamang semakin meningkat. Jika hari biasa hanya diproduksi empat puluh batang, namun saat Ramadan, permintaan bisa mencapai seratus lima puluh batang per hari.
Tingginya permintaan disebabkan lamang tak hanya untuk konsumsi sendiri, melainkan juga menjadi hantaran bagi menantu ke rumah mertua, maupun hantaran sesama besan sebagai jalinan silaturahmi jelang Ramadan yang dikenal sebagai tradisi manjalang mintuo.
"Saya mau bawa lamang ini ke Pekanbaru, ke tempat mertua. Ya, biasa bawa ini sebagai hantaran sebelum (masuk) puasa, untuk silaturahmi. Bawa lamang, kue-kue juga," kata Asnidar, salah seorang warga, baru-baru ini.
Warga lainnya, Martaliza juga mengungkapkan hal yang sama. Ia mengaku selalu membawa lamang untuk menemui mertua, karena sudah tradisi sejak lama.
"Bagaimana ya, udah tradisi sejak lama. Kita berkewajiban untuk menjaga tradisi itu. Jadi ya, setiap hari-hari besar, terutama menjelang Ramadhan ini saya bawakan lamang," kata Martaliza.
![]() |
Jejak Malamang dalam Literatur
Dalam literatur yang ada, tradisi malamang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam secara turun temurun sampai sekarang.
Menuruttambo atau kisah yang meriwayatkan tentang asal usul dan kejadian masa lalu yang terjadi di Minangkabau, ada peran Syekh Burhanuddin Ulakan ((1646-1704) dalam tradisi malamang ini.
Diceritakan, Syekh Burhanuddin yang dikenal sebagai pembawa ajaran Islam di Minangkabau melakukan perjalanan ke daerah pesisir Minangkabau untuk menyampaikan agama Islam serta bersilaturahmi ke rumah penduduk.
Dari kunjungannya, masyarakat sering memberikan makanan yang masih diragukan kehalalannya. Namun ia meragukan kehalalan makanan yang disuguhkan kepadanya. Di zaman itu, masyarakat masih suka memakan makanan olahan dari daging tikus dan ular, tulis Ph.S. van Ronkel dalam artikelnya Het Heiligdom te Oelakan atau Tempat Keramat di Ulakan (1914).
Syekh Burhanuddin menolak dengan halus. Ia katakan bahwa dirinya tak suka daging tikus dan ular. Meskipun telah disuguhi makanan lainnya, ia masih tetap ragu dengan kehalalan makanan itu, karena sangat mungkin makanan tersebut dimasak di wadah bekas memasak daging tikus, ular dan mungkin juga daging babi.
![]() |
Lalu, ia mulai mencontohkan, memasak nasi di dalam ruas bambu yang dilapisi daun. Namun, karena nasi tidak bisa tahan lama, ia kemudian mengganti beras dengan beras pulut. Beras ketan putih atau pulut itu ditambahi santan, kemudian dipanggang di atas tungku kayu bakar.
Cara masak Syekh Burhanuddin tersebut lalu ditiru oleh orang-orang di sekitar surau tempat ia mengajar. Syekh Burhanuddin pun menyarankan kepada setiap masyarakat agar menyajikan makanan lamang ini menjadi simbol makanan yang dihidangkan dalam silaturrahim.
(dpw/dpw)