Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam menetapkan dua orang tersangka atas kasus korupsi pengadaan sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) Batam tahun 2018. Keduanya yakni inisial RM selaku PPK dan PAP selaku penyedia.
Kasi Intel Kejari Batam, Riki Saputra mengatakan hasil penghitungan kerugian keuangan negara dari BPKP, yaitu sejumlah Rp 1,89 miliar. Riki menyebutkan keduanya telah dipanggil namun tak hadir.
"Tersangka PAP melalui penasehat hukumnya menginformasikan jika PAP masih dalam keadaan sakit. Sedangkan untuk tersangka RM juga tidak hadir dengan alasan ada acara keluarga. Keduanya minta dijadwalkan kembali," kata Riki, Kamis (5/1/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua tersangka kasus korupsi SIMRS BP Batam ditetapkan menjadi tersangka pada 30 Desember 2022 lalu. Mereka ditetapkan sebagai tersangka setelah beberapa kali diperiksa sebagai saksi dalam kasus itu.
Penyidik Pidsus Kejaksaan Negeri Batam kembali melakukan pemanggilan kepada dua tersangka tersebut. Keduanya diminta untuk datang ke kantor Kejari Batam pada Rabu (11/1) untuk dimintai keterangan.
"Diharapkan para tersangka kooperatif dan memenuhi panggilan penyidik Pidsus Kejaksaan
Negeri Batam," ujarnya.
"Jika nantinya usai pemanggilan ini dan juga tidak dihadiri oleh kedua tersangka dimungkinkan untuk upaya paksa. Nah nanti teknisnya itu teknik dari penyidik," tegasnya.
Kasus korupsi SIMRS BP Batam itu diketahui bermula dari pengadaan sistem informasi rumah sakit BP Batam oleh BP Batam pada 2018 lalu dengan nilai HPS sebesar Rp 3 miliar. Selanjutnya pada 5 April 2018 panitia lelang mengumumkan dan pada akhir April 2018 PPK dan PT Sarana Primadata pemenang lelang menandatangani kontrak pengadaan aplikasi SIMRS BP Batam.
"Nilai kontrak pengadaan tersebut sebesar Rp 2.673.300.000," jelasnya.
Oleh PT Sarana Primadata melakukan subkontrak kepada PT. Exindo Information Technology. Pekerjaan utama yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan yang nilainya kontraknya sebesar Rp 1,25 miliar.
"Bahwa atas pengadaan SIMRS BP Batam tahun 2018 ditemukan adanya penyimpangan dalam pelaksanaannya yang merugikan keuangan negara," tandas Riki.
(dpw/dpw)