Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin (TRP) menjalani pemeriksaan di kasus kepemilikan satwa dilindungi. Pemeriksaan yang dilakukan hari ini usai terbit ditetapkan sebagai tersangka.
"Hari ini (16/6), sebagaimana penetapan majelis hakim pada PN Jakarta Pusat, diagendakan pemeriksaan TRP atau Bupati Langkat sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana di bidang konservasi SDA (Sumber Daya Alam) Hayati dan Ekosistemnya," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri seperti dikutip dari detikNews, Kamis (16/6/2022).
Ali Fikri mengatakan pemeriksaan dilakukan oleh penyidik Pegawai Negeri Sipil dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pemeriksaan akan dilakukan di gedung KPK karena terbit saat ini menjadi tahanan KPK dalam kasus suap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemeriksaan dilakukan oleh penyidik PNS pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," tutur Ali Fikri.
"Tempat pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK sekitar pukul 10.00 WIB," sambungnya.
Ali Fikri menjelaskan pemeriksaan terbit dalam kasus kepemilikan satwa di gedung KPK ini sebagai bentuk koordinasi antara dua lembaga penegak hukum.
Sebelumnya diberitakan, Terbit Rencana Perangin Angin ditetapkan sebagai tersangka di kasus kepemilikan satwa dilindungi. Penetapan itu berdasarkan hasil gelar perkara antara Balai Penegak Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera.
"Penyidik Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera menetapkan TRP (49), Bupati Langkat nonaktif, sebagai tersangka atas kepemilikan satwa yang dilindungi," kata Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera Subhan seperti dikutip dari detikSumut, Kamis (9/6/2022).
"Penetapan tersangka ini berdasarkan hasil gelar perkara antara Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera, Balai Besar KSDA Sumut, dan Polda Sumut pada tanggal 8 Juni 2022," sambungnya.
Subhan mengatakan saat ini pihaknya sedang berkoordinasi dengan KPK untuk bisa memeriksa TRP lebih lanjut. Hal ini karena TRP saat ini menjadi tahanan di KPK dalam kasus suap.
"Atas perbuatannya tersebut, tersangka diancam dengan hukuman pidana Pasal 21 ayat (2) huruf a juncto Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp 100 juta," jelas Subhan.
(afb/afb)