Julukan Serambi Mekkah telah melekat sejak lama pada salah satu provinsi di Indonesia, yaitu Aceh. Maka tidak mengherankan jika kesenian yang ada di Aceh sangat kental dengan nilai-nilai Islam.
Salah satu kesenian yang sarat dengan nilai Islam adalah Tari Likok Pulo. Tarian ini berasal dari Pulo Aceh, tepatnya di Pulau Beras Selatan, Kampung Ulee Paya.
Tentang Tari Likok Pulo
Dilansir dari laman resmi Kabupaten Aceh Besar, likok memiliki arti gerakan dan pulo yang berarti pulau, sehingga tarian ini disebut dengan tarian ala pesisir. Ada yang unik dari tari ini, keunikannya terletak pada setiap gerakan yang berisi nasihat-nasihat yang disampaikan dengan syair-syair oleh seorang penari utama yang disebut dengan syekh. Tarian ini biasanya dilakukan oleh 10 hingga 12 orang penari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tari Likok Pulo dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Tarian ini biasanya digelar sesudah menanam padi atau masa-masa menjelang panen tiba, biasanya dilakukan pada malam hari dan besoknya dilakukan panen. Gerakan yang dilakukan adalah dengan posisi duduk bersimpuh, berbanjar atau bahu membahu.
Sejarah Likok Pulo
Menurut buku Tari Likok Pulo di Aceh Besar yang ditulis oleh Ahmad Sya'i, ada dua versi asal mula tarian ini, yaitu sebagai berikut.
Versi pertama yaitu ada seorang ulama tua yang berasal dari Arab kemudian menetap di Ulee Paya sekitar tahun 1849. Ulama itu bernama Syeikh Ahmad Badron yang disebutkan hanyut dan terdampar ke Pulo Breuh Selatan.
Kehadiran ulama tersebut membuat masyarakat Aceh sangat senang. Ulama Syeikh Ahmad Badron menjadi panutan dalam kehidupan masyarakat Pulo Aceh.
Ulama Syeikh Ahmad Badron merasa prihatin terhadap kondisi masyarakat saat itu, mereka sudah memeluk agama Islam namun masih kurang sempurna dalam pengamalannya. Ia kemudian memikirkan bagaimana cara mengembangkan ajaran Islam agar dapat dijalankan dengan sempurna oleh masyarakat.
Syeikh melihat bahwa masyarakat Aceh sangat lihai dan gemar bermain rapai. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk melakukan dakwah melalui kesenian rapai yang dipadukan dengan gerakan-gerakan tangan sambil mengajarkan syair-syair Islam seperti berzikir kepada Allah SWT dan bersalawat kepada Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
Versi kedua mengatakan bahwa masyarakat percaya jika tari Likok Pulo diciptakan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syech Ahmad Badrun pada tahun 1845 di Desa Ulee Paya. Kedatangannya ke Aceh adalah untuk berdagang pada masa itu.
Selama berada di Koeta Radja (sekarang Banda Aceh), ia sudah banyak menyebarkan ajaran Islam sehingga ia dicap sebagai pengacau oleh penjajah Jepang. Pada akhirnya, ia harus bersembunyi di bawah dek kapal Jepang untuk melarikan diri karena dikejar-kejar oleh penjajah Jepang.
Ia kemudian terdampar bersama Ayah Wahip Tameh, yaitu seorang yang jago ilmu kebal.
Ayah Wahip Tameh terdampar di Pasi Raya, sedangkan Syech Ahmad Badrun terdampar di Ulee Paya, Pulau Breueh. Selama bersembunyi di sana, Syech Ahmad Badrun melihat bahwa perilaku masyarakat Pulau Breueh sangat menyimpang dari ajaran agama Islam, yaitu berjudi, mencuri, bahkan bermain wanita.
Kemudian ia mendekati mereka dengan maksud untuk menyadarkan bahwa apa yang mereka perbuat sudah menyimpang. Namun, usahanya itu tidak berjalan mulus.
Pada tahun 1845, Syech Ahmad Badrun menciptakan sebuah tari yang dinamakan Likok Pulo untuk menyadarkan warga setempat agar mau menjalankan perintah Allah SWT. Ia mengajarkan beberapa pemuda untuk bermain Likok Pulo yang memiliki syair-syair Islami secara diam-diam.
Usaha yang ia lakukan itu kemudian berhasil dan membuat warga setempat menjalankan perintah Allah SWT.
Artikel ini ditulis oleh Aprilda Ariana Sianturi, peserta program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom
(mjy/mjy)