Fondrako, Hukum Adat Masyarakat Nias yang Mulai Ditinggalkan

Fondrako, Hukum Adat Masyarakat Nias yang Mulai Ditinggalkan

Jevon Noitolo Gea - detikSumut
Kamis, 29 Agu 2024 19:00 WIB
Peserta melakukan aksi lompat batu saat Festival Budaya Nias di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (12/2/2017).
Ilustrasi budaya Nias. (Foto: Agung Pambudhy)
Medan -

Masyarakat Nias, yang mendiami Pulau Nias di lepas pantai barat Sumatera Utara, adalah kelompok etnis dengan kekayaan budaya, tradisi, dan sejarah yang sangat menarik. Pulau Nias sendiri merupakan salah satu pulau terbesar di wilayah barat Indonesia.

Suku Nias telah menghuni pulau ini selama ribuan tahun, dan selama itu, mereka telah mengembangkan budaya dan tradisi yang unik dan kaya. Tradisi ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, membentuk identitas masyarakat Nias yang kuat dan berbeda dari kelompok etnis lainnya di Indonesia.

Beberapa tradisi tersebut ada kaitannya dengan pemujaan leluhur sebelum masuknya pengaruh agama Kristen, namun sebagian besar adat istiadat tersebut kini sudah punah. Seiring dengan modernisasi masyarakat Nias, tradisi-tradisi lain seperti perbudakan dan pengayauan juga ditinggalkan. Namun banyak adat istiadat Nias seperti lompat batu, pernikahan, serta tarian dan musik tradisional masih dilestarikan dan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Nias.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hukum Adat Nias dikenal dengan "Fondrakö", dengan tujuan mengatur kehidupan masyarakat Nias dan memberikan sanksi berupa kutukan bagi yang melanggarnya. Fondrakõ merupakan forum untuk mempertimbangkan, menetapkan, dan meratifikasi adat dan hukum. Mereka yang mengikuti Fondrako diberkati, dan mereka yang melanggarnya dikutuk dan dihukum.

Dikutip dari situs Warisan Budaya Kemdikbud, Fondrakö (baca fondrake) dapat diartikan musyawarah pemuka adat Nias yang menjadi forum pembahasan dan pengesahan hukum adat baru atau Fondrakö baru. Fondrakö didefinisikan sebagai penetapan hukum adat baru yang disahkan dengan berkah bagi yang menaati dan kutukan untuk para pelanggar aturan adat oleh Ere atau imam/pandita agama Nias kuno.

ADVERTISEMENT

Pada prinsipnya Fondrakö yang tidak tertulis ini berasaskan pada lima nilai dasar dalam masyarakat Nias yaitu fo'adu (perbuatan baik), fangaso (kekayaan yang berhubungan dengan mata pencarian), fo'olo-olo hao-hao (sopan santun), fabarahao (tata pemerintahan dan stratifikasi sosial) dan bowö masimasi (adil dan saling mengasihi) sebagai asas penegakan hukum adat yang mengikat sekaligus menjamin hak-hak anggota masyarakat atas hak kepemilikan, kekayaan, kehormatan dan keselamatan.

Dilansir dari situs Museum Nias, fondrakö tersebut disahkan dan ditetapkan dengan sumpah kutuk. Orang yang melanggar hukum itu dikutuki (larakö). Kerasnya hukuman tergantung dari apa pelanggaran yang dilakukan. Untuk setiap pelanggaran ada hukuman khusus.

Hukumannya berkisar dari denda hingga hukuman mati. Denda bisa dibayar dengan beras, daging babi, atau emas. Hukuman mati dapat dilakukan dengan cara ditembak, ditenggelamkan, atau ditusuk dengan pedang. Hukuman mati dapat diubah menjadi hukuman seumur hidup jika denda yang besar dibayarkan atau terpidana diampuni oleh kaum bangsawan.

Seiring berjalannya waktu dan masyarakat semakin mengenal agama, kepercayaan terhadap kutukan tersebut mulai berkurang, namun masih ada yang masih mempercayainya, terutama para tetua adat Pulau Nias. Fondrako yang mulai ditinggalkan mencerminkan dinamika perubahan dalam masyarakat Nias, di mana tradisi lama berusaha beradaptasi dengan dunia yang terus berubah.

Artikel ini ditulis Jevon Noitolo Gea, Mahasiswa Magang dari Universitas HKBP Nommensen Medan.




(nkm/nkm)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads