Bangsawan Eropa dan Belanda dulunya memiliki kolam renang privat di Kota Medan. Kolam renang ini tidak dibuka untuk masyarakat Indonesia, hanya untuk kalangan bangsawan.
Kolam renang para bangsawan itu dikenal dengan Kolam Renang Paradiso yang terletak di Jalan Sisingamangaraja Medan. Tempat ini merupakan kolam renang pertama di Kota Medan.
Lokasi kolam ini ini berada tepat di persimpangan Jalan Rahmadsyah. Lokasinya tak begitu jauh dari menara PDAM Tirtanadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
detikSumut mencoba mendatangi kolam tersebut. Pada bagian depan kolam renang, terpampang nama tempat itu, yakni Kolam Renang Yayasan Renang Medan. Memang tak ada tulisan Paradiso di nama tersebut.
Lalu, di bagian pemesanan tiket, tampak ada seorang ibu-ibu yang duduk. Tidak ada antrean yang tampak di bagian tiket, seperti kolam renang pada umumnya. Memang saat itu, detikSumut berkunjung pada hari biasa, bukan pada akhir pekan.
Tampak, kolam itu bernuansa putih biru. Di samping kanan kolam tampak ada tulisan 'Perkumpulan Renang Remaja Medan'.
Sementara, di bagian samping kiri tampak tertata sejumlah meja dan kursi. Tempat itu berlantai dua. Namun, pada lantai duanya itu tampak tidak memiliki atap, hanya terbuka begitu saja.
Sekitar pukul 15.30 WIB terlihat tidak ramai pengunjung yang datang, hanya ada dua bapak-bapak yang tengah berenang. Namun, selang 20 menit kemudian mulai berdatangan satu per satu pengunjung. Ada juga sejumlah pelajar yang berenang di tempat itu.
Lalu, dari mana asal nama Paradiso tersebut?
Suratmin selaku koordinator lapangan mengaku kolam renang itu memang terkenal dengan Kolam Renang Paradiso. Nama itu, kata Suratmin, diambil dari nama bioskop yang cukup terkenal saat itu. Bioskop itu berada tepat di sebelah kanan kolam renang tersebut. Alhasil, warga saat itu menyebutnya Kolam Renang Paradiso.
"Itu dulu nama bioskop, Paradiso, ini perkumpulan renang (namanya), cuman itu (bioskop) namanya yang besar," kata Suratmin kepada detikSumut.
Dia menyebut saat ini kolam renang yang dipakai itu hanya dua kolam Satu kolam renang utama untuk orang dewasa, dan satunya lagi kolam renang kecil untuk anak-anak. Dia mengatakan harga tiket masuk ke kolam renang itu hanya Rp 18 ribu untuk semua kalangan mulai dari Senin-Minggu.
Suratmin menyebut bentuk kolam renang itu masih sama dengan dulunya, tidak ada perubahan. Lalu, bagian bangunan berlantai dua dengan atap terbuka itu, katanya, dulu merupakan tempat berjemur para bangsawan saat berenang.
"Di atas dulu mereka payung-payung, berjemur, santai. Tidak berubah, hanya perawatan saja," sebutnya.
Baca selengkapnya di halaman berikut...
Kolam Renang Privat Bangsawan
Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Budi Agustono memerkirakan kolam renang itu didirikan di tahun 1924 pada zaman kolonial Belanda. Dulunya tempat itu diberi nama Medansche Zwemvereeniging yang berarti Perkumpulan Perenang Medan.
Dulu, kolam renang ini tidak bisa dinikmati masyarakat umum seperti sekarang. Hanya kalangan bangsawan atau ras kulit putih yang bisa masuk ke tempat itu. Masyarakat kulit berwarna, seperti pribumi saat itu tidak diperkenankan masuk.
"Itu satu wilayah sangat yang rasis sebenarnya, artinya yang hanya boleh dinikmati oleh kalangan kulit putih Eropa, Belanda. Jadi, pada waktu itu, di luar kulit putih tidak dibenarkan memasuki wilayah itu. Jadi, saya kira itu menunjukkan bahwa kota Medan itu sangat diskriminatif dan rasis pada saat itu masa abad ke-20, sebelum jepang masuk," kata Budi kepada detikSumut baru-baru ini.
Budi mengatakan larangan itu memang terkesan diskriminatif. Namun, hal itulah yang terjadi pada masa itu.
Menurutnya, larangan itu dilakukan untuk mempertahankan identitas budaya dari Eropa dan Belanda itu. Para bangsawan itu enggan budaya mereka tercampur dengan budaya-budaya lokal. Keengganan itulah yang lalu membuat sejumlah lokasi-lokasi di Kota Medan saat itu hanya diperuntukkan untuk ras-ras kulit putih, termasuk Kolam Renang Paradiso itu.
"Sistem sosial pada saat itu, sangat rigid, kaku, agar kebudayaan Belanda tidak tercemar awalnya oleh misalnya kebudayaan lokal ataupun kebudayaan pribumi pada waktu itu. Kenapa mereka lakukan itu, kenapa ada diskriminasi, ini kan untuk mempertahankan supremasi kebudayaan Eropa, agar mereka bisa budaya mereka tetap tegak dan tidak tercemar oleh anasir kebudayaan lokal yang ada di sekitarnya," jelasnya.
Prof Budi menjelaskan kolam renang itu dulunya banyak dikunjungi saat akhir pekan. Mulai dari pejabat birokrat hingga asisten perkebunan, menghabiskan waktu mereka sambil bersenang-senang di kolam itu.
Kondisi tersebut pun berubah setelah Jepang mengambil alih kekuasaan. Namun, pada masa Jepang juga tidak semua pribumi diperbolehkan masuk ke kolam renang itu, hanya orang-orang pribumi tertentu. Misalnya, pribumi yang dekat dengan penguasa jepang.
"Mulai zaman Jepang juga mulai berubah karena zaman Jepang hanya pejabat Jepang dan orang Indonesia tertentu yang bisa memasuki Kolam Renang Paradiso," jelasnya.
Baca selengkapnya di halaman berikut...
Selang beberapa waktu, pada tahun 1950-an mulai banyak pengusaha, militer, atau kaum elit lokal dan keluarganya yang diberi akses masuk ke kolam renang itu. Termasuk dari warga-warga Tionghoa.
Dulu, kata Budi, anak-anak pengusaha Tionghoa cukup senang berenang. Alhasil mereka akan berenang di Kolam Paradiso itu.
Menurutnya, saat itu, kolam renang itu sudah tidak hanya sekadar sebagai tempat untuk berenang. Namun, sudah menjadi tempat komunikasi budaya. Orang-orang pribumi yang berenang di kolam itu akan saling berkomunikasi dengan orang-orang Tionghoa.
"Kemudian, di tahun 50-an itu kolam renang itu juga menjadi medium untuk pertukaran komunikasi kebudayaan, karena di situ juga ada dialog antara orang pribumi dengan anak anak pengusaha Tionghoa yang sama-sama bermain dan berenang di Paradiso.
Hasil dari pertemuan mereka ini, terjadilah misalnya perkawanan orang Indonesia dengan orang Tionghoa, berkenalan. Kadang-kadang karena pergaulan semakin dekat, ada yang pergi ke Singapura bersama-sama itu naik kapal di Belawan. Jadi, mereka pergi ke Singapura, ke semenanjung Malaya," jelasnya.
"Jadi, memang saat itu, kolam renang tidak hanya sebagai status sosial, tapi juga dia sebagai medium interaksi kebudayaan antara pribumi dengan tionghoa pada waktu itu," sambung Budi.
Budi menceritakan pada tahun 1970-an, Kolam Renang Paradiso itu juga menjadi tempat berlatih para perenang dan polo air. Bahkan, para atlet PON dulunya juga juga berlatih di tempat itu.
"Pada saat PON diadakan di Medan, itu banyak sekali Kolam Renang Paradiso menjadi tempat latihan perenang Kota Medan. Pada tahun 70-an, perenang ini lah yang menjadi cikal bakal terbentuknya polo air di Kota Medan," ujarnya
Simak Video "Video: Heboh Oknum Polisi Palak Pemotor Wanita, Ini Kata Polrestabes Medan"
[Gambas:Video 20detik]
(afb/afb)