Indonesia adalah negara yang dikenal dengan kekayaan serta keberagaman warisan budayanya. Ada banyak ciri khas yang melekat pada suku, agama, bahasa, adat istiadat, seni, dan tradisi di berbagai wilayah Indonesia.
Salah satu di antaranya adalah tradisi Tabuik yang diadakan di Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar). Tradisi ini bukan hanya sekadar serangkaian acara, tetapi juga mengandung makna sejarah dan religius yang dalam.
Bagaimana keunikan tradisi Tabuik? Berikut penjelasannya dengan merujuk pada Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya tentang Upacara Tabuik; Ritual Keagamaan pada Masyarakat Pariaman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa itu Upacara Tabuik?
Upacara Tabuik atau sering disebut batabuik (pesta tabuik) merupakan tradisi masyarakat Pariaman di Sumatera Barat. Kata "tabuik" berasal dari bahasa Arab yaitu at-tabut. Tabut sendiri dapat diartikan sebagai peti atau keranda dalam bahasa Arab (Ibrani).
Sedangkan menurut orang Mesir kuno, tabut dikenal menjadi tempat meletakkan mayat berupa peti terbuat dari batu atau kayu. Di Pariaman, tabuik berarti keranda bambu, kayu, atau rotan berhiaskan bunga salapan yang diibaratkan usungan mayat Husein bin Ali.
Upacara Tabuik dilakukan dengan beberapa tahap, seperti upacara membuat daraga, upacara mengambil tanah, upacara menebang batang pisang, peristiwa maatam, upacara mengarak sorban, upacara Tabuik naik pangkat, pesta Hoyak Tabuik dan Tabuik dibuang ke laut.
Sejarah Upacara Tabuik
Awal sejarah Upacara Tabuik dimulai ketika bangsa Cipei yakni sisa pasukan Inggris (Gurkha) membawa masuk perayaan tabuik dari Bengkulu ke daerah Pariaman. Peristiwa itu terjadi setelah perjanjian Traktat London tahun 1824 antara Inggris dan Belanda.
Upacara Tabuik menjadi peringatan akan terbunuhnya seorang imam yang begitu dikagumi oleh pengikut kaum Syiah. Tradisi itu berkaitan erat dengan meninggalnya cucu Nabi Muhammad, Husein bin Ali bin Abi Thalib, di Padang Karbala tahun 681 Masehi.
Dalam peperangan melawan tentara Yazid bin Muawiyah, Husein bin Ali dipancung, jasadnya dicincang lalu kepalanya dipisahkan dari tubuhnya. Setelah Husein dibunuh, arak-arakkan yang dibawa serombongan malaikat tiba-tiba turun dari langit.
Semua bagian tubuh Husein yang terbelah dimasukkan ke dalam arak-arakkan dan dibawah terbang seekor burak naik ke langit. Tanpa diketahui malaikat, seseorang dari bangsa Cipei ikut bergantung pada keranda yang membawa mayat Husein.
Di tengah perjalanan, malaikat menyuruh orang Cipei tersebut untuk kembali ke bumi. Sempat tidak menuruti perkataan malaikat tetapi akhirnya turun ke bumi, orang Cipei itu kemudian menuruti anjuran malaikat untuk membuat arak-arakkan yang dilihatnya.
Sejak saat itu, bangsa Cipei menyelenggarakan arak-arakkan dalam wujud tabut yang dibawa berkeliling kampung pada setiap awal bulan. Tradisi itu pun dikenal dengan Upacara Tabuik oleh masyarakat Pariaman dan diselenggarakan secara turun menurun.
Makna Upacara Tabuik
Melansir Jurnal Online Mahasiswa FISIP Unri tentang Makna Simbolik Upacara Tabuik di Kota Pariaman Sumatera Barat, terdapat 3 makna simbolik di balik penyelenggaraan Upacara Tabuik.
Gerakan-gerakan yang ditampilkan selama proses Upacara Tabuik menggambarkan kekerasan saat peperangan antara Husein dan tentara Muawiyah terjadi. Ada ekspresi kekecewaan dan duka mendalam terkait peristiwa yang terjadi.
Tak hanya gerakan, situasi simbolik dalam Upacara Tabuik juga dilihat dari aspek fisik (benda) yang digunakan. Selain itu, hingga kini, Upacara Tabuik ditetapkan pemerintah kota Pariaman sebagai objek pariwisata.
Rutin diadakan setiap tahun menyebabkan terjadinya pergeseran makna dari Upacara Tabuik. Dahulu dianggap ritual khusus keagamaan Islam Syiah tetapi kini dimaknai hiburan dan atraksi kesenian untuk menarik pengunjung lokal dan mancanegara.
(dpw/dpw)