Pernahkah detikers mendengar Candi Bahal? Candi Bahal merupakan sebuah candi Buddha yang berlokasi di Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), Sumatera Utara.
Candi ini memiliki sejarah panjang dan merupakan salah satu peninggalan arkeologi penting. Sebab, Candi Bahal menjadi bukti pernah hadirnya ajaran agama Buddha di wilayah Paluta pada masa lalu.
Di samping menjadi sebuah situs bersejarah, candi satu ini juga digunakan sebagai tempat peringatan Hari Raya Waisak 2023. Namun, bagaimana bisa Candi Bahal berdiri di Padang Lawas Utara? Berikut detikSumut hadirkan sejarahnya untukmu!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biaro Bahal dan Padang Lawas Utara
Tak bisa dimungkiri, jejak-jejak bersejarah masyarakat kuno lebih banyak ditemukan di Pulau Jawa. Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, merupakan salah satu peninggalan Buddha paling terkenal baik bagi masyarakat Indonesia maupun mancanegara.
Namun, masih ada banyak candi bercorak Buddha selain dari Pulau Jawa. Contohnya saja yang ada di Sumatera Utara.
Orang-orang mungkin tak terlalu melihat Sumut sebagai tempat peninggalan agama Buddha. Namun faktanya, candi bisa ditemukan di sejumlah kawasan Sumatera Utara. Padang Lawas merupakan daerah Sumut yang paling banyak candinya, salah satunya Candi Bahal.
Dalam buku elektronik Candi Bahal oleh Akhmad Saddad, situs bersejarah tersebut bisa dijumpai di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara, sekitar 400 km dari Medan.
![]() |
Meski secara umum merupakan sebuah candi, Koestoro (2018) dalam Biara Bahal dan Biara Sipamutung, Peninggalan Kepurbakalaan Masa Klasik Indonesia di Kawasan Padanglawas, Sumatera Utara menyebutkan, masyarakat Padang Lawas lebih akrab menyebut situs kepurbakalaan sebagai "biaro", ketimbang candi.
Istilah biaro sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, vihara yang berarti 'serambi tempat para pendeta berkumpul atau berjalan-jalan'. Kata vihara kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi biara atau wihara yang bermakna 'tempat para biksu'.
Itulah mengapa peninggalan purba kala ini juga kerap dikenal dengan sebutan "Biaro/Biara Bahal". Pada waktu yang bersamaan, julukan biaro yang diberikan masyarakat setempat menjadi bukti kuat adanya pengaruh agama Buddha dari masa lampau.
Kenapa Disebut "Candi Bahal"?
Berdasarkan buku elektronik Candi Bahal oleh Akhmad Saddad, penamaan peninggalan Buddha kuno ini didasarkan pada lokasi ia dibangun. Dalam hal ini, bangunan tersebut diberi nama "Candi Bahal" karena berada di Desa Bahal.
Selain itu, biaro ini memiliki julukan lain, yakni Candi/Biaro Portibi. Nama tersebut juga diambil dari tempat candi ini berada, yakni Kecamatan Portibi.
Sebagai informasi, apabila diterjemahkan, portibi dalam bahasa Batak memiliki arti 'dunia' atau 'bumi'. Kata tersebut merupakan serapa dari bahasa Sanskerta pertiwi yang berarti 'Dewi Bumi'.
Candi Bahal adalah peninggalan Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-11. Simak informasinya di halaman selanjutnya...
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya dari Abad ke-11
![]() |
Disebutkan di bagian awal, Candi Bahal merupakan sebuah peninggalan agama Buddha. Siswanto, dkk. (2020) dalam Tata Spasial Candi Bahal I, II dan III di Padang Lawas Utara, Sumatera Utara menyebutkan, Candi Bahal merupakan kompleks candi yang berasal dari umat terdahulu yang menganut aliran Buddha Vajrayana.
Bangunan bersejarah ini diperkirakan berasal dari abad ke-11 M. Menurut buku Sumber Belajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan oleh Khusnul Khofifah Harahap, Biaro Bahal dulunya dibangun oleh Raja Hindu Shifa dan Tamil yang memerintah di India Selatan.
Namun, yang menarik dari candi ini adalah ia merupakan sebuah peninggalan yang menjadi bukti kekuasaan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Utara.
Lebih tepatnya, Candi Bahal dikaitkan dengan Kerajaan Pannai, sebuah kerajaan yang terletak di pesisir timur Sumatera Utara. Berdasarkan Sriwijaya: Kerajaan Maritim di Indonesia oleh Akhmad Sadad (2023), Kerajaan Pannai dulunya berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Sriwijaya sehingga berakhir menjadi salah satu wilayah kekuasaannya.
Selain itu, biara ini juga dipercaya sebagai jejak kekuasaan Kerajaan Sriwijaya di Sumut lewat tata spasialnya. Siswanto, dkk. (2020) mengatakan, salah satu ciri candi masa Sriwijaya adalah lokasinya yang berada dekat sungai. Lokasi Candi Bahal sendiri terletak di dekat Sungai Batang Pane yang bermuara di Sungai Barumun.
Adapun penemuan candi bercorak Buddha ini terjadi sekitar pertengahan abad ke-19 silam. Dari Siswanto, dkk. (2020), catatan perihal waktu penemuan Candi Bahal diperoleh dari seorang geolog sekaligus Komisaris Hindia Timur, Franz Junghun.
Diketahui dirinya pertama kali berkunjung ke kompleks Biara Bahal pada 1846 silam. Pasca kunjungannya, orang lain juga turut menyambangi candi ini, antara lain von Rosenberg pada 1854 dan Kerkhoff pada 1887.
Candi Buddha yang Terdiri dari Tiga Bangunan
![]() |
Candi Bahal terdiri atas tiga bangunan, yaitu Bahal I, II, dan III. Ketiganya terletak dalam sebuah garis lurus yang sejajar dengan Sungai Batang Pane dan masing-masing terpisah sejauh kurang lebih 500 m.
Bangunan purba kala ini terbuat dari bahan bata merah. Setiap kompleks candi terdiri atas bangunan induk, bangunan perwara atau penyerta, dan gapura. Terdapat pula pagar bata merah yang mengelilingi candi setinggi dan setebal 1 meter.
Merujuk Koestoro (2018), Siswanto, dkk. (2020), Sadad (2023), dan sumber lainnya, berikut penjelasan lengkap mengenai Candi Bahal I, II, dan III.
1. Candi Bahal I
Candi Bahal I berdiri di atas lahan yang melandai ke arah tenggara seluas 3.000 m2. Jika dibandingkan dengan kedua biaro lain, Bahal I merupakan yang terbesar.
Dikelilingi oleh areal persawahan, kepurbakalaan satu ini terletak di tengah halaman, menghadap ke arah gerbang. Kompleksnya terdiri atas satu bangunan utama, empat bangunan perwara, dan gapura.
2. Candi Bahal II
Sekitar 300 m dari Bahal I, terdapat Bahal II yang terdiri atas sebuah bangunan induk dan dua bangunan perwara. Luasnya sendiri kurang lebih sama dengan Bahal I, tetapi bangunan utama Bahal II berukuran lebih kecil.
Yang unik dari Bahal II adalah keberadaan Arca Heruka. Arca tersebut merupakan arca demonis yang mewujudkan tokoh pantheon agama Buddha aliran Mahayana, sekte Bajrayana atau Tantrayana. Sayangnya, arca tersebut pecah dan sudah tidak ada lagi sejak tahun 1975.
Ini menunjukkan bahwa kawasan tersebut pada masa lalu mungkin merupakan pusat kegiatan keagamaan dan budaya yang penting.
3. Candi Bahal III
Berdiri di atas lahan seluas 4.322 m2, Biaro Bahal III tersusun atas sebuah bangunan utama dengan satu bangunan perwara. Di sepanjang dinding tatakannya, detikers dapat melihat hiasan pahatan yang motifnya tampak seperti bunga.
Jaraknya dari jalan hanya berkisar 100 m. Namun, untuk sampai ke Bahal III, detikers perlu melewati jalan setapak, pematang sawah, dan perumahan penduduk setempat.
Candi Bahal menjadi lokasi peringatan Waisak 2023 di halaman selanjutnya...
Menjadi Lokasi Peringatan Waisak 2023
![]() |
Kalau perayaan Hari Raya Waisak 2567 BE di Jawa Tengah diadakan di Candi Borobudur, umat Buddha di Sumut merayakannya di Candi Bahal, tepatnya berlangsung di Bahal I.
Adapun rangkaian kegiatan yang dilakukan selama berada di kompleks Biaro Bahal adalah sebagai berikut:
- Meditasi: 05.00 WIB sampai selesai
- San Pu I Pai: 06.00 WIB sampai selesai
- Puja Bhakti Waisak: 08.30 WIB sampai selesai
- Detik-Detik Waisak: 10.41.19 WIB sampai selesai
- Dharmasanti Waisak: 13.00 WIB sampai selesai
Sebagai informasi pula, Candi Bahal telah ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan Pariwisata Nomor PM.88/PW.007/MKP/2011 tanggal 17 Oktober 2010.
Itulah sederet informasi mengenai sejarah Candi Bahal yang ada di Padang Lawas Utara. Semoga informasi di atas menambah wawasan nusantaramu, ya!