Ternyata Mumi di Mesir Diawetkan Bukan untuk 'Awet', Tapi Ini Tujuannya

Ternyata Mumi di Mesir Diawetkan Bukan untuk 'Awet', Tapi Ini Tujuannya

Tim detikInet - detikSumut
Rabu, 22 Mar 2023 14:10 WIB
The golden sarcophagus of King Tutankhamun in his burial chamber is seen in the Valley of the Kings, in Luxor, Egypt, November 28, 2015. Chances are high that the tomb of Ancient Egypts boy-king Tutankhamun has passages to a hidden chamber, which may be the last resting place of Queen Nefertiti, and new evidence from the site will go to Japan for analysis, experts said on Saturday. REUTERS/Mohamed Abd El Ghany
Ilustrasi mumi di Mesir. (Foto: MOHAMED ABD EL GHANY/REUTERS)
Medan -

Sampai saat ini, masih banyak orang percaya bahwa orang Mesir kuno menggunakan mumifikasi sebagai cara untuk mengawetkan tubuh sesudah kematian. Namun anggapan ini ternyata salah.

Fakta ini terungkap didalam sebuah studi yang dilakukan oleh University of Manchester's Manchester Museum di Inggris. Studi ini menyoroti kesalahpahaman lazim tentang mumi.

Dikutip detikInet dari Live Science, melalui pameran "Mumi Emas Mesir" peneliti mengungkap bahwa teknik penguburan mumifikasi sebetulnya adalah cara membimbing orang yang telah meninggal menuju keilahian. Lantas kenapa kesalahpahaman ini berlangsung sangat lama?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kurator museum Mesir dan Sudan, Campbell Price mengatakan inspirasi ini bermula di negara-negara barat, dimulai oleh para peneliti zaman Victoria. Price menyebut, selama ini mereka salah kaprah beranggapan bahwa orang Mesir kuno mengawetkan mayat, sama dengan cara mengawetkan ikan asin.

"Idenya adalah Anda mengawetkan ikan untuk dimakan di era mendatang. Jadi, mereka beranggapan bahwa apa yang dijalankan terhadap tubuh manusia serupa bersama perlakuan terhadap ikan," kata Price.

ADVERTISEMENT

Namun, zat asin yang digunakan oleh orang Mesir kuno berbeda dneghan garam yang digunakan untuk mengawetkan ikan. Garam untuk mumi dikenal mempunyai takaran natron, mineral alami memuat campuran natrium karbonat, natrium bikarbonat, natrium klorida, dan natrium sulfat yang berlimpah di danau dekat Sungai Nil, dan dimanfaatkan sebagai bahan utama didalam mumifikasi.

"Kita juga tahu bahwa natron digunakan dalam ritual kuil dan diterapkan pada patung dewa. Bahan itu digunakan untuk pembersihan," jelasnya.

Price mengatakan bahwa bahan lain yang biasa diasosiasikan bersama mumi adalah dupa, yang biasa digunakan sebagai hadiah untuk para dewa.

Bahkan kata dupa dalam bahasa Mesir kuno, 'senetjer', secara harfiah berarti 'membuat ilahi'. Saat membakar dupa di kuil, itu dianggap tepat dilakukan karena merupakan rumah dewa dan membuat seisi ruangan menjadi 'ilahiah'.

"Tapi jika menggunakan resin dupa pada tubuh, Anda membuat tubuh menuju keilahian, menjadi makhluk yang saleh," kata Price.

Seperti orang Mesir, ahli Mesir Kuno juga percaya bahwa orang yang sudah meninggal akan membutuhkan tubuh mereka di akhirat, sehingga makin memperkuat adanya kesalahpahaman tentang mumifikasi.

"Saya pikir itu sebenarnya memiliki arti yang lebih dalam, dan pada dasarnya tentang mengubah tubuh menjadi patung dewa karena orang mati telah diubah," terangnya.

Arkeolog juga sering menemukan mumi ditempatkan di dalam sarkofagus yang menunjukkan rupa almarhum. Menurut Price, potret ini mengungkapkan identitas orang tersebut dan memberikan gambaran ideal pada bentuk ilahi.




(dpw/dpw)


Hide Ads