Seorang pendeta di Desa Hutanabolon, Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah (Tapteng), Lea Filanie (59), menjadi salah satu korban banjir bandang-longsor yang belum ditemukan. Anak-anaknya melakukan pencarian tiap hari dengan menyusuri aliran sungai bekas banjir bandang di desa tersebut.
"Tapi kami tiap hari ke sana nyari-nyari mamak, menyusuri sungai, mengandalkan mata dan hidung manatau ada bau-bau bangkai gitu," kata Betty Trifena Ritonga saat dihubungi, Sabtu (13/12/2025).
Betty menceritakan kembali kisah yang dia dengar dari bapaknya yang juga pendeta, Irwanner Muda Ritonga, saat kejadian. Pagi itu, Selasa (25/11), suami istri itu baru selesai menyantap sarapan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ayah dan ibunya tinggal di rumah khusus pendeta tepat di samping Gereja GPdI Hutanabolon. Saat itu, ayahnya mendengar suara kayu menabrak pintu gereja.
"Di rumah, di GPdI Hutanabolon, saat itu bapak dan mamak sama-sama di rumah habis sarapan, didengar bapak ada kayu nabrak gereja," ucapnya.
Betty menjelaskan, ayahnya langsung lompat keluar rumah dan memanggil ibunya yang sedang di kamar melakukan video call dengan menantu. Namun arus banjir bandar terlalu kencang dan langsung menyapu bersih gereja dan rumah yang dihuni ibunya.
"Airnya kencang bawa kayu dan batu, lompat bapak keluar sambil manggil-manggil mamak, begitu bapak bapak lompat disapu air itu rumah dan gereja," jelasnya.
Ayahnya kemudian ke rumah tetangga namun rumah itu terseret juga, ia bersama anak kecil kemudian naik ke pohon, kemudian berlari ke atas bukit. Setelah satu malam bertahan di atas bukit, ayahnya turun dan akhirnya bertemu dengan anaknya yang tinggal di desa berbeda.
Betty yang saat itu di Jakarta, resah karena tidak ada kabar dari kampung setelah banjir bandang-longsor. Ia kemudian memutuskan pulang kampung bersama adiknya.
Tim SAR disebut sempat datang ke Hutanabolon mencari korban banjir bandang-longsor pada Sabtu-Minggu (29-30/11). Namun hingga sekarang mereka tidak melakukan pencarian lagi.
"Sabtu minggu datang tim SAR ke Hutanabolon, habis itu nggak datang lagi sampai sekarang," ujarnya.
Betty bersama saudaranya tiap hari menyusuri sungai untuk mencari jasad ibunya. Setelah dari Desa Hutanabolon, mereka ke rumah sakit maupun ke posko bencana untuk dengan harapan mendapat kabar tentang ibunya.
"Tiap dari Hutanabolon kami ke rumah sakit atau posko bencana manatau mamak dapat, tapi nggak ada juga sampai sekarang," ucapnya.
Mereka sempat meminta agar Tim SAR Gabungan melakukan pencarian di Desa Hutanabolon kembali. Namun karena keterbatasan alat berat, pencarian sulit dilakukan karena ketebalan lumpur disebut lebih dari satu meter.
"Tanah itu naik 1 meter lebih, kata Basarnas kalau mereka pun datang ke sana tangan kosong terlalu luas wilayahnya, memang harus alat berat, mereka udah minta tapi belum diturunkan," ungkapnya.
Betty bersama keluarganya, berharap pencarian dengan alat berat dilakukan. Sehingga mereka dapat melihat jasad ibunya untuk terakhir kali.
"Harapannya dibantu juga pencarian dengan alat berat karena memang cari manual susah. Kami pun sudah berusaha ikhlas, tapi kan setidaknya bisa kami lihat terakhir kali," tuturnya.
Simak Video "Video: Reaksi Korban soal Status Banjir Sumatera Belum Jadi Bencana Nasional"
[Gambas:Video 20detik]
(niz/mjy)











































