Ditahan KPK, Gubernur Riau Sempat Heboh 'Pusing 7 Keliling' Usai Dilantik

Riau

Ditahan KPK, Gubernur Riau Sempat Heboh 'Pusing 7 Keliling' Usai Dilantik

Raja Adil Siregar - detikSumut
Rabu, 05 Nov 2025 17:00 WIB
Gubernur Riau Abdul Wahid. (tangkapan layar live di Youtube Kominfotik Riau)
Foto: Gubernur Riau Abdul Wahid. (tangkapan layar live di Youtube Kominfotik Riau)
Pekanbaru -

Gubernur Abdul Wahid menjadi salah satu tersangka yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Sebelum ditangkap KPK, Abdul Wahid sempat heboh karena pusing 7 keliling di awal memimpin.

Kalimat pusing 7 keliling dilontarkan Wahid saat rapat RPJMD bersama tokoh-tokoh di Riau dan pejabat tinggi. Ucapan tersebut dilontarkan Wahid 12 Maret lalu, tidak lebih dari 1 bulan usai dilantik.

Dalam forum yang disiarkan secara live itu, Wahid mengaku kaget karena setelah jabat baru tahu ada tunda bayar triliunan. Nilai itu disebut membuat tidak bisa banyak berbuat usai dilantik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya belum pernah menemukan ada tunda bayar Rp 2,2 triliun, belum pernah. Paling ada Rp 200 miliar, Rp 250 miliar," kata Wahid seperti dilihat detikSumut, Rabu (5/11/2025).

Wahid mengungkap tunda bayar triliunan itu belum pernah ada dalam sejarah berdirinya Provinsi Riau. itulah alasan kenapa ia ngaku pusing 7 keliling.

ADVERTISEMENT

"Belum pernah sejarah sepanjang Provinsi Riau. Ini membuat kepala saya pusing 7 keliling, mencari duitnya dari mana ini," kata Wahid.

Ketua DPW PKB Riau itu mengaku sudah membuka semua lembar kerja masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD). Dibuat tak ada kegiatan selama tahun 2025 saja, disebut tidak cukup untuk menutupi tunda bayar.

"Biar kebijakan saya tidak populer tidak ada masalah, yang penting persoalan selesai. Saya sebagai pemimpin harus tegas dan berani bertanggungjawab," kata Wahid kala itu.

Wakil Gubernur SF Hariyanto pun angkat biacara. Menurutnya, besaran tunda bayar tak seperti yang dihebohkan dan dipastikan bisa diatasi.

Tidak hanya itu saja, SF juga mengungkap alasan terjadi tunda bayar. Bahkan hampir seluruh daerah mengalami hal yang sama dan dapat diselesaikan.

"Defisit anggaran ini masalah biasa, klasik. Artinya defisit anggaran antara penerimaan dan pengeluaran, penerimaan tak tercapai," kata SF Hariyanto saat menyambut Kapolda Riau Irjen Hery Heryawan di Mapolda Riau, Senin (17/3) lalu.

SF mengungkap ada beberapa alasan tidak tercapainya penerimaan yang jadi penyebab defisit dan tunda bayar. Pertama soal dana participating interest (PI) dari PT Pertamina Hulu Rokan ke Pemerintah Provinsi Riau turun.

"Pertama ada rencana pendapatan tahun 2023 kita PI itu dapat Rp 1,6 triliun. Di 2024 ini kita dapat lebih kurang Rp 200 miliar, artinya ada pendapatan yang turun. Kalau pendapatan turun berdampak pada belanja," kata SF.

SF mengungkap ada beberapa alasan tidak tercapai penerimaan yang jadi penyebab defisit dan tunda bayar. Pertama soal dana participating interest (PI) dari PT Pertamina Hulu Rokan ke Pemerintah Provinsi Riau turun.

"Pertama ada rencana pendapatan tahun 2023 kita PI itu dapat Rp 1,6 triliun. Di 2024 ini kita dapat lebih kurang Rp 200 miliar, artinya ada pendapatan yang turun. Kalau pendapatan turun berdampak pada belanja," kata SF.

Alasan lain adalah belum dikirimnya dana dari pusat. Padahal dana itu diperkirakan dapat menutup anggaran yang digunakan selama 2024 dan terakhir adalah realisasi capaian pajak yang hanya 80 persen.

Gubernur Riau Minta 'Jatah Preman' Rp 7 M

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengatakan pejabat Dinas PUPR PKPP yang tak menyetor 'jatah preman' ke Abdul Wahid pun terancam dicopot.

"Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya," katanya dalam konferensi pers di gedung KPK, Jakarta Selatan.

Uang yang ditujukan untuk Abdul Wahid itu, kata Tanak, populer disebut dengan istilah jatah preman.

"Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah 'jatah preman'," jelas dia.

Tanak mengatakan kasus ini berawal dari pertemuan antara Sekdis PUPR Riau Ferry Yunanda dan enam kepala UPT wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP pada Mei 2025.

Ferry melaporkan hasil pertemuan ke Kadis PUPR Riau Arief. Namun, menurut Tanak, Arief yang merepresentasikan Abdul Wahid meminta fee 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar.

"Selanjutnya, seluruh Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP beserta Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau melakukan pertemuan kembali dan menyepakati besaran fee untuk saudara AW (Abdul Wahid) sebesar 5 persen (Rp 7 miliar)," ujarnya.

KPK menduga sudah ada Rp 4 miliar yang diserahkan dari total permintaan Rp 7 miliar. KPK menyebutkan uang itu diberikan secara bertahap.

Akibat perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Halaman 3 dari 2
(astj/astj)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads