Pink Tax adalah istilah yang menggambarkan fenomena saat produk atau layanan yang ditujukan untuk perempuan dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan produk serupa untuk laki-laki. Meski disebut "tax" atau pajak, istilah ini tidak merujuk pada pajak dalam pengertian formal, melainkan praktik diskriminasi harga yang menargetkan perempuan.
Produk dengan warna pink atau desain yang dianggap lebih "feminim" kerap kali menjadi alasan mengapa harganya lebih mahal. Praktik ini menimbulkan beban keuangan tambahan yang tidak adil bagi perempuan.
Dihimpun dari artikel jurnal ilmiah berjudul "Diskriminasi Harga Berdasarkan Gender: Produk di Indonesia" oleh Aida Rakhmawati dan Sasiska Rani, menyimpulkan bahwa pelabelan gender pada produk itu sendiri adalah metode yang digunakan oleh industri dan penjual untuk mengklasifikasikan atau menyegmentasi konsumen mereka. Fenomena Pink Tax bagi pemilik industri dan penjual merupakan celah untuk mendapatkan keuntungan lebih besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyebab Pink Tax
1. Strategi Pemasaran
Perusahaan sering kali merancang produk dengan warna dan desain khusus untuk menarik konsumen perempuan, seperti penggunaan warna pink atau elemen desain yang dianggap feminin. Produk-produk ini, meskipun fungsinya sama dengan produk untuk laki-laki, cenderung dijual dengan harga lebih tinggi. Contohnya, alat cukur atau pakaian yang sama dalam versi "feminim" seringkali memiliki harga yang lebih mahal.
2. Persepsi Pasar
Produsen memiliki keyakinan bahwa perempuan cenderung kurang sensitif terhadap harga dan bersedia membayar lebih untuk produk yang dirancang khusus bagi mereka. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan bisa membayar hingga 7% hingga 13% lebih mahal untuk produk yang sebetulnya sama dengan produk untuk laki-laki.
Perbedaan harga ini sering kali tidak beralasan, namun tetap terjadi karena persepsi bahwa perempuan akan tetap membeli produk tersebut demi desain atau kesan eksklusif yang ditawarkan.
3. Kondisi Ekonomi
Ketidaksetaraan pendapatan antara laki-laki dan perempuan memperburuk efek Pink Tax. Data menunjukkan bahwa perempuan secara umum memiliki daya beli yang lebih rendah, sehingga ketika mereka dihadapkan pada harga produk yang lebih mahal, hal ini semakin memperparah ketidaksetaraan ekonomi yang mereka hadapi. Perempuan dipaksa untuk mengeluarkan uang lebih banyak, sementara pendapatan mereka secara rata-rata masih lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Dampak Pink Tax
1. Keuangan Perempuan
Pink Tax memiliki dampak langsung pada kondisi keuangan perempuan. Selama hidupnya, perempuan diperkirakan dapat menghabiskan hingga 42% lebih banyak dibandingkan laki-laki untuk produk dan layanan yang sama.
Hal ini menambah beban ekonomi yang tidak perlu, terutama bagi perempuan yang sudah menghadapi tantangan keuangan seperti kesenjangan upah dan biaya hidup yang semakin tinggi.
2. Diskriminasi Gender
Fenomena ini mencerminkan bentuk diskriminasi yang memperkuat ketidaksetaraan gender. Barang-barang kebutuhan dasar, seperti produk kesehatan reproduksi (pembalut dan tampon), sering kali dikenai pajak meskipun produk tersebut adalah kebutuhan pokok. Praktik ini menunjukkan bagaimana gender dapat mempengaruhi akses seseorang terhadap barang dan layanan penting.
Upaya Mengatasi Pink Tax
1. Membeli Produk untuk Laki-Laki
Konsumen dapat mengambil langkah praktis dengan memilih produk yang dirancang untuk laki-laki jika tidak ada perbedaan signifikan dalam kualitas atau fungsinya. Misalnya, alat cukur pria bisa menjadi alternatif yang lebih murah untuk perempuan.
2. Kesadaran Konsumen
Meningkatkan kesadaran akan adanya Pink Tax menjadi langkah penting untuk memerangi praktik ini. Konsumen yang paham tentang diskriminasi harga ini dapat membuat keputusan belanja yang lebih cerdas dan menuntut keadilan harga dari produsen. Kesadaran ini juga mendorong lebih banyak orang untuk berbicara dan memprotes praktik diskriminatif ini.
(dhm/dhm)