Kuning kecoklatan-coklatan, begitulah warna aliran Sungai Deli di sekitaran Jalan Letjen Suprapto, Kota Medan, siang itu. Cuaca saat itu sedikit mendung, tidak ada hujan yang turun seharian.
Ada anak-anak yang asyik melompat ke sungai. Mereka hanya mengenakan celana pendek dan telanjang dada. Berendam di air memang menjadi pilihan yang pas di tengah cuaca Kota Medan yang cukup panas pada beberapa hari terakhir ini.
Anak-anak itu bergantian dengan temannya melompat ke Sungai Deli. Wajah mereka cukup sumringah. Betapa tidak, pada masa kecil, mandi sungai menjadi hal yang menyenangkan. Di bagian pinggir sungai itu ada seorang wanita tengah sibuk mencuci sesuatu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di seberang sungai itu ada tumpukan sampah plastik. Sampah itu menambah kesan jorok dari sungai itu.
Jangankan untuk diminum, untuk mandi saja rasanya air itu terbilang tidak layak. Padahal, konon katanya air Sungai Deli itu dulunya menjadi air minum warga.
Begitulah kondisi Sungai Deli sekarang. Jika hujan di kota atau di pegunungan tengah deras, warga yang tinggal di bantaran sungai sudah pasti terendam banjir.
Paling sering adalah warga Kampung Aur dan Gang Merdeka yang berada di Jalan Brigjend Katamso. Kondisi tersebut hingga kini masih terjadi.
Lalu, bagaimana kondisi Sungai Deli pada masa dulunya. Konon, sungai itu dulunya jernih dan menjadi moda transportasi utama warga. Berikut detikSumut berikan penjelasannya:
Guru Besar Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Budi Agustono mengatakan dulunya sungai memang menjadi pusat peradaban manusia, termasuk, Sungai Deli. Dulunya, sungai ini menjadi pusat perekonomian, kebudayaan dan sebagai moda transportasi bagi masyarakat.
Masyarakat yang ingin menuju ke suatu tempat, misal ingin mengantarkan produk-produk lokalnya, akan menyusuri sungai ini. Masyarakat akan saling bertukar hasil pertanian atau produk lokal dengan masyarakat luar yang datang ke daerah tersebut, atau istilahnya disebut barter.
Pedagang-pedagang atau masyarakat juga membawa sebagian produk-produk lokalnya ke pelabuhan-pelabuhan kecil di pinggiran laut yang berada di wilayah Medan Labuhan hingga Medan Belawan.
Termasuk juga ketika Medan saat itu telah membuka industri-industri perkebunan, seperti tembakau dan yang lainnya. Tembakau itu akan dibawa menggunakan perahu dan diangkut menuju pelabuhan.
"Mungkin sebelum kedatangan bangsa asing ke Sumatera Timur dulu namanya, sekarang Sumut, sungai tidak hanya menjadi moda transportasi, tapi sungai sebagai sumber peradaban, karena saat itu sungai menjadi bagian dalam proses perkembangan, penyebaran kebudayaan juga sebagai pusat aktivasi ekonomi," kata Budi saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Budi mengatakan pada tahun 1820-an, pemukiman warga di pinggiran Sungai Deli itu masih jarang. Rumah-rumah warga pada saat itu masih berbentuk rumah panggung dari kayu.
Jalan darat pada masa itu juga tidak sebanyak sekarang. Jalan-jalan yang saat ini dibangun gedung-gedung atau rumah warga, dulunya adalah hutan. Kota Medan kala itu juga masih pepohonan.
Baca selengkapnya di halaman berikut...
Namun, belakangan setelah kapitalisme kolonial berkembang, mulailah dibangun jalan-jalan, jembatan dan infrastruktur darat lainnya. Daerah yang awalnya masih hutan, ditebang dan dijadikan wilayah perkampungan.
Seiring dengan wilayah darat yang mulai dibuka, wilayah sungai mulai ditinggalkan. Sungai Deli tidak lagi menjadi moda transportasi utama masyarakat saat itu. Alhasil, sungai yang dulunya menjadi pusat kebudayaan dan peradaban, mulai berpindah ke daratan.
"Pada saat jalan mulai diperkenalkan, pelabuhan mulai dibangun, makin hari Sungai Deli itu tidak lagi menjadi moda transportasi utama dan strategis karena alat transportasi telah berpindah dari sungai ke darat," kata Budi.
"Sebagai konsekuensinya, jika sebelumnya sungai menjadi pusat kebudayaan karena ada pertukaran ide, maka itu berpindah ke darat. Jadi, sebenarnya perpindahan dari sungai ke darat memperlihatkan bekerjanya sistem kapitalisme internasional itu sangat intensif di wilayah ini, sehingga tidak lagi memerlukan sungai sebagai transportasi utama seperti masa sebelumnya saat industri besar belum berkembang pesat," sambungnya.
Air Sungai Deli Bisa Diminum
Budi mengatakan pada tahun 1990 an, kondisi air Sungai Deli masih bagus. Belum ada pencemaran seperti yang terjadi saat ini.
Budi menggambarkan bahwa Sungai Deli saat itu masih jernih dan indah. Jadi, tak heran jika pada sekitar tahun 1950-an masyarakat masih mengambil air Sungai Deli sebagai air minum.
"Sungai Deli, kalau misalnya di tahun 1900-an itu kan masih bagus, airnya masih bagus, lingkungannya belum tercemar. Kemudian, masyarakat sampai tahun 50-an itu masih bisa meminum air Sungai Deli langsung karena belum tercemar oleh berbagai limbah industri.
Budi mengatakan untuk mengembalikan kondisi Sungai Deli kembali seperti dulu tidaklah mudah. Permasalahan yang ada di Sungai Deli tersebut sudah kompleks karena banyak pihak yang memiliki kepentingan di sungai tersebut. Menurutnya, masyarakat juga ikut berperan langsung membuat kondisi Sungai Deli menjadi seperti sekarang.
"Itu sebabnya saya kira kompleksitas Sungai Deli saat ini sangat tinggi dan mungkin juga harus dari mana diperbaiki itu juga menjadi pertanyaan besar. Di sana juga Sungai Deli sebagai tempat pembuangan limbah industri besar yang beracun dan sering terjadi di sekitar Sungai Deli orang mandi di situ, tubuhnya gatal-gatal. Sungai Deli itu juga sebagai wilayah kontestasi, wilayah perebutan berbagai kepentingan. Saya kira masyarakat juga punya kontribusi untuk melakukan perusakan, tidak hanya industri, karena semakin banyak orang yang menduduki daerah aliran sungai, sehingga susah diatasi oleh siapapun," kata Budi.
Baca selengkapnya di halaman berikut...
Budi mencontohkan soal Sungai Chao Praya di Bangkok, Thailand. Sungai itu, kata Budi, dikelola oleh pemerintah Thailand dan menjadi tempat wisata yang banyak dikunjungi turis-turis saat ini. Nantinya, turis-turis ini akan disajikan penampilan budaya-budaya Thailand.
"Jadi, Pemerintah Thailand ini mengembangkan sungai menjadi wisata dunia dan juga memperkuat transmisi kebudayaan satu negara ke negara lain," ujarnya.
Budi lalu memimpikan jika saja Sungai Deli bisa dikelola menjadi lokasi wisata seperti Sungai Chao Praya itu. Menurutnya, hal itu akan menjadi wisata yang menarik. Selain itu, akan banyak dampak positif yang dirasakan masyarakat.
"Seandainya Sungai Deli itu meniru apa yang dilakukan pemerintah Thailand, itu saya kira akan menjadi atraksi wisata yang sangat menarik sekali, karena nyaris tidak ada di Sumut ini yang menghidupkan sungai sebagai potensi wisata. Itu tidak ada, karena itu tidak ada mindset ke sana, karena cara berpikir kita kan bagaimana mengembangkan daratan, bukan bagaimana membangun sungai atau membangun dunia bahari, dunia laut. Dunia laut atau sungai itu diterbengkalaikan maka yang dikembangkan adalah budaya darat," jelasnya.
"Untuk memperbaiki lingkungan itu bukan perkara yang mudah karena memang dari awal Sungai Deli itu tidak pernah disiapkan untuk menuju wisata bahari, sehingga karena sudah persoalannya begitu kompleks dan semakin susah untuk mengatasi persoalan persoalan yang ada di sekitar sungai Deli. Bantaran-bantaran itu sudah diduduki oleh banyak orang dan juga yang semakin banyak orang berkepentingan dengan Sungai Deli, semakin susah untuk memfungsikan kembali peran strategis seperti dulu, sangat susah, karena akan banyak berbenturan dengan orang. Kemudian, jika salah mengelola juga akan memunculkan konflik konflik di wilayah daerah aliran sungai itu," pungkas Budi.
Simak Video "Video: Penjelasan Kemendikdasmen soal Implementasi Mapel Koding-AI"
[Gambas:Video 20detik]
(afb/afb)