Suardi Raden kini dikenal sebagai salah satu petani hidroponik sukses di Kota Medan. Dia kerap diminta memberikan pelatihan kepada orang yang baru mulai dan tertarik ke berbagai daerah.
Tapi siapa sangka, Suardi memulai belajar bertani hidroponik secara otodidak. Dia membaca buku dan menonton konten tentang bertani hidroponik.
Lantai dua rumah Suardi yang terletak di Jalan Bromo, Lorong Amal, Kecamatan Medan Area, disulap menjadi lahan pertanian hidroponik. Barang-barang bekas dipakainya untuk menjadi media tanam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan lantai dasar rumah disulapnya menjadi kafe dan tempat memajang berbagai produk hasil karyanya.
"Saya mulai beralih ke hidroponik tahun 2014, saya ilmunya belajar sendiri, otodidak," ujarnya saat berbincang dengan detikcom Rabu 20 Maret 2024.
Sebelum menekuni dunia hidroponik, Suardi adalah kontraktor bidang IT. Namun, usahanya itu bangkrut di tahun 2013.
Bukan memilih bangkit kembali di usaha itu, Suardi memilih banting setir ke dunia hidroponik. Padahal dia tidak punya ilmu sama sekali tentang pertanian kala itu.
![]() |
Bersama istrinya Rahmayeti, Suardi pun perlahan belajar tentang hidroponik. Di sat bersamaan Suardi mendapat tawaran bekerja di perusahaan setelah usaha bangkrut, dia lebih memilih menekuni hidroponik.
Ada satu prinsip yang dipegang Suardi sedari dulu, dia tidak ingin menjadi pekerja. Kondisi terpuruk dia tetap konsisten memegang prinsip tersebut.
"Saya dan istri tak ikut pelatihan, belajar sendiri. Kalau ditanya modalnya, semua barang udah sekolah (digadaikan), mobil sekolah, sepeda motor sekolah, anak pun mau sekolah. Semua disekolahkan," katanya berkisah.
Keterpurukan kala itu membuatnya terus berinovasi, tak ada rasa menyerah. Walaupun di awal hasil pertanian hidroponik sempat gagal karena tanaman kurang diberi nutrisi dan juga diserang hama.
"Kalau ditanya banyak, dihitung secara detail Rp 100 juta lebih. Sebelum utang udah jalan hydroponik, ya udah dapat. Itu sebenarnya masih kurang, tapi kurang, kalau modal cukup. tapi bukan hanya modal, butuh makan, anak sekolah dan lain-lain," katanya
Setelah gagal pada percobaan pertama, percobaan tanam kedua hasilnya cukup baik. Sebab, Suardi sudah melakukan beberpa perbaikan khususnya soal nutrisi tanaman.
Hasil panen yang didapat saat itu tidak langsung dijual, dia lebih memilih untuk memberikan kepada tetangga dan kerabat. Padahal di waktu bersamaan, akibat usahanya hancur dia punya kewajiban membayar utang.
"Kita harus mutar otak untuk bayar semua utang, di saat itu setiap bulan harus bayar Rp 9 juta bayar utang (cicilan). Waktu itu nggak ada hitung-hitungan matematika, saya udah terbiasa jatuh bangun karena kontraktor, udah biasa. Ini udah jauh kali perbandingannya, dari kontraktor IT ke dunia pertanian hidroponik," katanya.
Selengkapnya di Halaman Berikutnya...
Kabar tentang keberhasilannya bertani hidroponik di rumah pun tersebar luar, tidak lama setelahnya Suardi pun mendapat undangan untuk memberikan pelatihan kepada petani hidroponik.
Undangan itu datang dari Dinas Pertanian Sumut, dia pun bingung karena merasa belum pantas bicara tentang hidroponik. Selain baru memulai, ilmu yang dimilikinya dirasa belum cukup.
Setelah berkonsultasi dengan istri, peluang itu pun diambilnya. Dia kemudian berbicara di hadapan ratusan tenaga pertanian dari 33 kabupaten di Sumut.
Rasa lega dan kekhawatiran saat itu hilang karena pelatihan yang diberikan Suardi mendapat respons baik dari peserta. "Alhamdulillah responsnya baik waktu itu," katanya.
Beberapa pekan setelah pelatihan itu, pihak Dinas Pertanian Sumut pun menghubungi Suardi kembali. Dia diminta untuk membuat 72 instalasi.
Suardi terpaksa memutar otak karena dia tidak punya modal untuk membuat 72 unit instalasi yang diminta Dinas Pertanian Sumut. Setelah menyelesaikan itu nama Suardi pun kembali bersinar.
Karena terus berkembang usaha hidroponik miliknya diberi nama Syifa. Nama itu diambil dari putri bungsunya.
Diakuinya penghasilan dari pertanian hidroponik di rumahnya tidak cukup baik. Hanya pendapatan dari dari pelatihan dan mentor cukup untuk melunasi utang dan kebutuhannya serta keluarga.
Tapi untuk pengembangan usaha dia butuh tambahan modal. Di tahun 2015 dia memutuskan mengajukan Kredit Usaha Rakyat (KUR) ke BRI.
"Setelah berjalan,pelan-pelan, 2015 pertama kali dapat KUR BRI Rp 25 juta. 2021 terakhir ambil lagi Rp 50 juta, mudah-mudahan tahun depan lunas. Untuk prosesnya mudah dan gampang," katanya.
Direktur Bisnis Mikro PT Bank Rakyat Indonesia Supari menyebut adanya kenaikan debitur baru penerimaan KUR. Dia mencatat kenaikan itu melebihi target yang ditetapkan pemerintah.
Berdasarkan catatan BRI, hingga triwulan III 2023, kata Supardi, penyaluran KUR mencapai 105,82%. Kenaikan ini sejalan dengan komitmen BRI dalam mendorong pelaku usaha, khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) agar dapat berkembang.
Menurutnya, pada periode Januari-September 2023, BRI berhasil berkontribusi dalam pertumbuhan pelaku usaha sebanyak 2,3 juta debitur. Ia pun merincikan pencapaian yang telah diperoleh, yaitu sekitar 351 ribu pelaku usaha naik kelas dari KUR Super Mikro ke KUR Mikro. KUR Mikro ke KUR Kecil mencapai 1,9 juta debitur, dan KUR Kecil ke Kredit Komersial sekitar 13.000 debitur.
"Telah mencapai 1,44 juta debitur KUR baru hingga triwulan III 2023. Sedangkan target debitur KUR baru 2023 adalah sebesar 1,36 juta debitur. Kebijakan penyaluran KUR tahun 2023 pun memiliki substansi graduasi atau UMKM naik kelas yang jelas untuk kemandirian pelaku usaha," kata Supari dikutip dari keterangan tertulis.
Supari juga menjelaskan porsi kredit UMKM mencapai 83,06% dari total portofolio kredit BRI. Bahkan khusus untuk portofolio kredit mikro komersial yaitu Kupedes BRI, hingga akhir September 2023 tercatat mencapai sebesar Rp 201,4 triliun. Jumlah tersebut tumbuh 57,5% secara tahunan, dengan peminjam sebanyak 4,5 juta debitur atau meningkat 71,6%.