Majelis Kehormatan Mahkamah Agung (MKMK) memutuskan Anwar Usman diberhentikan dari Ketua MK karena dinilai melakukan pelanggaran etik berat. Namun menurut ahli hukum Universitas HKBP Nommensen Medan, Janpatar Simamora menilai Anwar Usman seharusnya dikenakan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari hakim MK.
Awalnya Janpatar mengatakan jika MKMK menyatakan seluruh hakim melakukan pelanggaran mulai dari ringan hingga berat karena tidak bisa menjaga kerahasiaan rapat. Dia menilai putusan itu sudah sewajarnya.
"MKMK menyatakan bahwa seluruh hakim konstitusi melakukan pelanggaran dengan kategori berbeda, mulai pelanggaran ringan sampai berat, khususnya karena dianggap tidak bisa menjaga kerahasiaan rapat permusyawaratan hakim atau RPH sebagai tahapan persidangan yang bersifat rahasia di MK. Sanksi ini tentu wajar dan patut dijatuhkan," kata Janpatar Simamora, Rabu (8/11/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran berat dalam menangani kasus batas usia capres-cawapres. Janpatar menilai jika Anwar Usman seharusnya di PTDH jika memang terbukti melakukan pelanggaran berat sesuai dengan Pasal 7 Peraturan MK No. 1 Tahun 2023.
"Terkait hal ini, jika terbukti melakukan pelanggaran berat, semestinya Anwar Usman dijatuhkan sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Peraturan MK No. 1 Tahun 2023, bukan hanya sebatas diberhentikan dari jabatan sebagai ketua MK," ucapnya.
Sehingga MKMK konsisten dengan pernyataan jika Usman melakukan pelanggaran berat. Meskipun jika di PTDH, Usman masih bisa mengajukan banding atas putusan itu.
"Artinya jika MKMK konsisten dengan pendapatnya bahwa Anwar Usman melakukan pelanggaran berat, maka sanksi yang seharusnya menurut PMK No 1 Tahun 2023 adalah pemberhentian tidak dengan hormat. Toh ketika putusan dengan sanksi PTDH itu dijatuhkan dan kemudian dianggap keliru, maka hakim yang bersangkutan masih dimungkinkan membela diri di hadapan sidang Majelis Kehormatan Banding," ujarnya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan ini menduga MKMK kurang yakin dengan pelanggaran berat tersebut atau ada perbedaan pendapat. Hal ini harusnya menjadi catatan ke depan untuk MKMK tegas dan konsisten dalam menjatuhkan hukuman.
"Namun mencermati putusan MKMK kali ini, saya melihat sepertinya MKMK kurang yakin dengan pelanggaran berat yang disebutkan atau mungkin berbeda pandangan sesama majelis kehormatan dalam menilai pelanggaran yang mereka temukan. Ini menjadi catatan penting ke depannya agar MKMK juga dapat bersikap tegas dan konsisten dalam menjalankan wewenangnya demi menjaga marwah lembaga pengawal konstitusi," sebutnya.
Dengan adanya kejadian ini, Janpatar menilai seharusnya menjadi pelajaran bagi seluruh hakim MK untuk menjaga marwah dan reputasi MK. Sehingga MK benar-benar menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi di Indonesia.
"Selain itu, kasus ini juga menjadi pelajaran berharga bagi seluruh hakim MK agar mampu menjaga marwah dan nama baik institusi sekelas MK, sehingga kemudian masyarakat luas percaya akan reputasi MK sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman di tanah air yang benar-benar menjadikan hukum sebagai panglima di negeri ini," tutupnya.
(nkm/nkm)