Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo divonis hukuman mati oleh Hakim Wahyu Imam Santoso. Putusan hakim Wahyu Imam Santoso memberikan vonis hukuman mati terhadap Ferdy Sambo karena terbukti melakukan pembunuhan berencana bersama-sama dengan terdakwa lain terhadap Brigadir N Yosua Hutabarat.
"Menjatuhkan pidana hukuman mati kepada terdakwa Ferdy Sambo," kata hakim membacakan putusan di PN Jaksel, Senin (13/2/2023).
Adapun yang memberatkan Ferdy Sambo adalah korban merupakan mantan ajudannya. "Hal yang memberatkan terdakwa melakukan itu kepada mantan ajudan yang sudah bekerja selama tiga tahun," kata hakim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukuman mati memang berlaku di Indonesia, sejumlah terdakwa dalam banyak kasus hukum juga divonis mati. Namun, dalam pemberlakuan hukuman mati ini selalu terjadi pro dan kontra. Bahkan dalam sejarah pembuatan hukuman mati menjadi legal dalam mata hukum.
Dalam sejarah pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, terjadi pertentangan yang cukup panjang. Hal itu bermula dari Asmara Hadi, anggota Konstituante dari Gerakan Pembela Pancasila, pada 14 Agustus 1958. Lantas bagaimanakah dinamika pertentangan pemberlakuan hukuman di Indonesia? Berikut faktanya!
Apa itu Hukuman Mati?
Melansir laman resmi Kanwil Kemenkumham Sulsel, hukuman mati atau pidana mati berasal dari bahasa Belanda yakni doodstraf. Pengertian dari hukuman mati atau pidana mati merupakan praktik pada suatu negara untuk membunuh seseorang sebagai hukuman atas suatu kejahatan.
Pemberian hukuman mati dilakukan kepada pelaku tindak pidana yang telah diputus bersalah atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dinamika Pertentangan Pemberlakuan Hukuman Mati di Indonesia
Melansir dari Institute For Criminal Justice Reform, terdapat 4 babak atas dinamika pertentangan pemberlakuan hukuman mati di Indonesia. Pertentangan tersebut telah ada bahkan sejak 1955. Bagaimanakah dinamika tersebut bergulir? Berikut ulasannya!
Pemberlakuan hukuman mati pertama kali ditentang pada sidang konstituante yang berlangsung pada 1955-1959. Dalam Sidang ke II tahun 1958 Rapat ke 27 Konstituante, Asmara Hadi, anggota Konstituante dari Gerakan Pembela Pancasila mengusulkan perlunya dimuat dalam norma UUD mengenai hak hidup dan hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati.
Waktu itu, Asmara Hadi memprotes hasil kerja tim perumus yang tidak mencantumkan usulannya terkait dengan rumusan hak hidup dan larangan hukuman mati dalam Laporan Panitia Perumus tentang HAM/Hak dan Kewajiban Warga Negara pada Sidang ke II Rapat ke 29, 19 Agustus 1958. Pertentangan yang dilakukan Asmara Hadi waktu itu ditolak sebab pertentangan terhadap tidak memberlakukan hukuman mati diusul dari suara minor.
Setelah Asmara Hadi, Taufiqurrohman Ruki, Valina Singka Subekti, dan Slamet Efendy Yusuf juga menentang hukuman mati. Ketiga tokoh tersebut saat itu menjabat sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bahwa dalam proses amandemen UUD 1945 juga terjadi perdebatan mengenai hukuman mati tidak perlu diberlakukan.
Ketiga tokoh tersebut mendesak hak hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Namun pembahasan mengenai hak hidup dan hukuman mati tidak dielaborasi lebih lanjut. Pembatasan hak hidup oleh UUD 1945 seolah hanya terkunci dari ketentuan Pasal 28J UUD 1945 yaitu tentang Hak Asasi Manusia yang dibatasi oleh Hak Asasi orang lain;
Dalam pelaksanaanya, hukuman mati tetap memiliki sisi paradoksial. Seperti dalam Kovenan Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 12 tahun 2005 memperbolehkan negara-negara mencantumkan hukuman mati pada legislasinya. Namun hal tersebut tak serta-merta membuat seseorang dapat divonis mati sebab Pasal 6 ayat (2) hanya diperbolehkan untuk kejahatan yang serius.
Hal tersebut dikarenakan adanya konsep the most serious crimes dalam hukum internasional sangat terbatas pada kejahatan dengan karakteristik tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam.
Memasuki masa reformasi, perdebatan hukuman mati juga berlanjut. Pada masa reformasi, hukuman mati didebatkan sebab konsep penggunaan hukuman mati sebagai bagian dari alat politik.
Timbul alasan kedaruratan dan responsivitas digunakan sebagai dasar pencantuman hukuman mati dalam legislasi di Indonesia tanpa penelitian berbasis bukti dan penghargaan Hak Asasi Manusia.
Demikian dinamika pertentangan pemberlakuan hukuman mati di Indonesia.
(nkm/nkm)