HUT ke 432, Simak 5 Fakta dan Sejarah Terbentuknya Kota Medan

HUT ke 432, Simak 5 Fakta dan Sejarah Terbentuknya Kota Medan

Kartika Sari - detikSumut
Jumat, 01 Jul 2022 13:30 WIB
Jalanan Kota Medan Lengang di Hari Kedua Lebaran
Titik Nol Kota Medan (Foto: Datuk Haris/detikcom)
Medan -

Kota Medan resmi menginjak usia 432 tahun hari ini, Jumat (1/7/2022). Dibentuk sejak tahun 1950, tentunya kota Medan memiliki sejarah yang begitu menarik untuk diulas.

Saat ini, Kota Medan dikenal sebagai kota Heterogen yang begitu banyak ditinggali oleh penduduk beragam etnis maupun agama yang hidup berdampingan dengan rukun.

Nah, spesial HUT Kota Medan, detikSumut akan merangkum lima alur terbentuknya Kota Medan dilansir dari Website Pemkot Medan, di antaranya:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Medan Tanah Deli

Kota Medan ini dulu dikenal bernama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4.000 hektare. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.

ADVERTISEMENT

Diketahui, Guru Patimpus ternyata yang dulu membuka perkampungan Medan di Tanah Deli. Maka dari itu, pada zaman penjajahan, orang-orang selalu mengaitkan Medan dengan Deli (Medan-Deli).

Pada zaman dulu, masyarakat menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut.

Adapun jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Data ini hasil penelitian dari Van Hissink pada tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik.

Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkualitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.

Berdasarkan Volker pada tahun 1860, Medan masih berbentuk hutan rimba dan disana, terutama di muara-muara sungai, diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.

2. Kampung Medan dan Tembakau Deli

Saat awal berkembang, Kota Medan punya kampung kecil bernama Medan Putri dengan posisi strategis karena terletak antara pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura, tidak jauh dari Jalan Putri Hijau saat ini.

Dua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung Medan Putri yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.

Pesatnya perkembangan Kampung Medan Putri, juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu.

Contoh tembakau deli pada Maret 1864 yang contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.

Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874.

Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung Medan Putri. Dengan demikian Kampung Medan Putri menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai Kota Medan.

Simak Fakta dan Sejarah Lainnya di Halaman Berikutnya:

3. Penjajahan Belanda di Tanah Deli

Tanah Deli begitu sulit untuk ditaklukkan oleh Belanda. Diketahui, Belanda hanya dapat menguasai Tanah Deli hanya 78 tahun mulai dari 1864 hingga 1942. Berkembangnya Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan.

Pada tahun 1879, Ibu Kota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887,Ibu Kota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibu Kota Deli telah resmi pindah ke Medan.

Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Wali Kota Baron Daniel Mac Kay. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari empat kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.

Pada tahun 1918, penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang. Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919).

Kemudian ada Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).

Jika dilihat sejarahnya, kota Medan sejak awal telah memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor). Dijadikannya Medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. Hingga saat ini disamping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara.

4. Kota Medan Masa Penjajahan Jepang

Pada tahun 1942, penjajahan Belanda berakhir di Sumatera yang ketika itu Jepang mendarat di beberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan khusus di Sumatera Jepang mendarat di Sumatera Timur.

Saat itu, tentara Jepang XXV mendarat di Sumatera yang berpangkalan Shonanto atau dikenal dengan Singapore pada 12 Maret 1942.

Formasi pasukan ini terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan ke-2 ditambah dengan Divisi ke-18 langsung dipimpin oleh Letjend. Nishimura. Tercatat ada empat pendaratan yakni Sabang, Ulele, Kuala Bugak (dekat Aceh Timur sekarang) dan Tanjung Tiram (kawasan Batubara sekarang).

Pasukan tentara Jepang yang mendarat di kawasan Tanjung Tiram inilah yang masuk ke Kota Medan, mereka menaiki sepeda yang mereka beli dari rakyat disekitarnya secara barter. Mereka bersemboyan bahwa mereka membantu orang Asia karena mereka adalah saudara Tua orang-orang Asia sehingga mereka dieluelukan menyambut kedatangannya.

Ketika peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang Kota Medan kacau balau, orang pribumi mempergunakan kesempatan ini membalas dendam terhadap orang Belanda. Keadaan ini segera ditertibkan oleh tentara Jepang dengan mengerahkan pasukannya yang bernama 'Kempetai' (Polisi Militer Jepang).

Dengan masuknya Jepang di Kota Medan keadaan segera berubah terutama pemerintahan sipilnya yang zaman Belanda disebut 'Gemeente Bestuur' oleh Jepang diubah menjadi 'Medan Sico' (Pemerintahan Kotapraja).

Yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi. Untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur karena masyarakatnya heterogen disebut Syucokan yang ketika itu dijabat oleh T.Nakashima, pembantu Residen disebut dengan Gunseibu.

Penguasaan Jepang semakin merajalela di Kota Medan mereka membuat masyarakat semakin parah, karena dengan kondisi demikianlah menurut mereka semakin mudah menguasai seluruh Nusantara, semboyan saudara Tua hanyalah semboyan saja.

Di sebelah Timur Kota Medan yakni Marindal sekarang dibangun Kengrohositai sejenis pertanian kolektif. Di kawasan Titi Kuning Medan Johor sekarang tidak jauh dari lapangan terbang Polonia sekarang mereka membangun landasan pesawat tempur Jepang.

Tokoh Pemuda di Kota Medan Ikut Menyambut Kemerdekaan Indonesia. Baca Halaman Selanjutnya:

5. Kota Medan Menyambut Kemerdekaan Republik Indonesia

Saat menjelang tahun 1945 bergema persiapan Proklamasi demikian juga di Kota Medan tidak ketinggalan para tokoh pemudanya melakukan berbagai macam persiapan.

Para pemuda mendengar bahwa bom atom telah jatuh melanda Kota Hiroshima, berarti kekuatan Jepang sudah lumpuh. Sedangkan tentara sekutu berhasrat kembali untuk menduduki Indonesia.

Khususnya di kawasan Kota Medan dan sekitarnya, ketika penguasa Jepang menyadari kekalahannya segera menghentikan segala kegiatannya, terutama yang berhubungan dengan pembinaan dan pengerahan pemuda.

Adapun selama ini mereka lakukan untuk merekrut massa pemuda seperti Heiho, Romusha, Gyu Gun dan Talapeta mereka bubarkan atau kembali kepada masyarakat.

Secara resmi kegiatan ini dibubarkan pada tanggal 20 Agustus 1945 karena pada hari itu pula penguasa Jepang di Sumatera Timur yang disebut Tetsuzo Nakashima mengumumkan kekalahan Jepang.

Tetsuzo menyampaikan bahwa tugas pasukan mereka dibekas pendudukan untuk menjaga status quo sebelum diserah-terimakan pada pasukan sekutu

Sebagian besar anggota pasukan bekas Heiho, Romusha, Talapeta dan latihan Gyu Gun merasa bingung karena kehidupan mereka terhimpit dimana mereka hanya diberikan uang saku yang terbatas, sehingga mereka kelihatan berlalu lalang dengan seragam coklat di tengah kota.

Beberapa tokoh pemuda melihat hal demikian mengambil inisiatif untuk menanggulanginya.

Terutama bekas perwira Gyu Gun diantaranya Letnan Achmad Tahir mendirikan suatu kepanitiaan untuk menanggulangi para bekas Heiho, Romusha yang famili/saudaranya tidak ada di kota Medan. Panitia ini dinamai dengan "Panitia Penolong Pengangguran Eks Gyu Gun" yang berkantor di Jl. Istana No.17 (Gedung Pemuda sekarang).

Tanggal 17 Agustus 1945 gema kemerdekaan telah sampai ke kota Medan walaupun dengan agak tersendat-sendat karena keadaan komunikasi pada waktu itu sangat sederhana sekali.

Kantor Berita Jepang "Domei" sudah ada perwakilannya di Medan namun mereka tidak mau menyiarkan berita kemerdekaan tersebut, akibatnya masyarakat tambah bingung.

Sekelompok kecil tentara sekutu tepatnya tanggal 1 September 1945 yang dipimpin Letnan I Pelaut Brondgeest tiba di kota Medan dan berkantor di Hotel De Boer (sekarang Hotel Grand Inna Deli).

Adapun tugasnya untuk mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Pada ketika itu pula tentara Belanda yang dipimpin oleh Westerling didampingi perwira penghubung sekutu bernama Mayor Yacobs dan Letnan Brondgeest berhasil membentuk kepolisian Belanda untuk kawasan Sumatera Timur yang anggotanya diambil dari eks KNIL dan Polisi Jepang yang pro Belanda.

Akhirnya dengan perjalanan yang berliku-liku para pemuda mengadakan berbagai aksi agar bagaimanapun kemerdekaan harus ditegakkan di Indonesia demikian juga di kota Medan yang menjadi bagiannya. Mereka itu adalah Achmad Tahir, Amir Bachrum Nasution, Edisaputra, Rustam Efendy, Gazali Ibrahim, Roos Lila, A.malik Munir, Bahrum Djamil, Marzuki Lubis dan Muhammad Kasim Jusni.

Halaman 2 dari 3


Simak Video "Video: Heboh Kondisi Kandang Medan Zoo Viral Tak Terawat"
[Gambas:Video 20detik]
(astj/astj)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads