Dalam survei yang dilakukan beberapa lembaga, Herman Deru diunggulkan dengan persentase cukup besar. Dua paslon lainnya dianggap butuh upaya untuk menaikkan elektabilitas.
"Jelas sangat memengaruhi, karena masih ada sekitar 20 persen swing voters atau undecided voters yang merupakan kelompok pemilih rasional di wilayah Sumsel. Sehingga, debat publik akan menjadi preferensi para pemilih tersebut dalam menentukan cagubnya," ujar Pengamat Politik Sumsel, Bagindo Togar, Kamis (31/10/2024).
Dalam debat yang mempertemukan tiga calon gubernur (Cagub), yakni Herman Deru, Eddy Santana Putra, dan Mawardi Yahya, dia menyebut Cagub nomor urut 2 lebih unggul secara objektif dari Paslon lain. Khususnya saat sesi tanya jawab antar Cagub.
Menurutnya, Eddy yang menjabat Wali Kota Palembang 2 periode (2003-2013) tersebut lebih cerdas dalam menyampaikan pernyataan dan menjawab pertanyaan.
"Secara objektif dalam debat pertama, Eddy secara riil unggul tapi dalam forum debat ini tidak serta merta menjamin Eddy menang Pilkada," katanya.
Dia menyebut dalam debat itu terlihat kompetensi dan kualitas dari para Cagub. Termasuk kerja kepala daerah sebelumnya, yakni Herman Deru-Mawardi Yahya yang merupakan Gubernur/Wakil Gubernur periode 2018-2023. Pasangan kepala daerah tersebut dinilainya kesulitan menjawab pertanyaan.
"Eddy leading. Deru dan Mawardi terlihat pusing," katanya.
Meski begitu dia mengungkap jika secara umum debat kemarin terkesan normatif dan tidak menyentuh pokok permasalahan. Serangan-serangan masih dianggap batas wajar.
Senada, Pengamat Politik Sumsel Haekal Al Haffafah menyebut jika debat pertama akan mempengaruhi tingkat elektabilitas Paslon Pilkada. Jumlahnya tidak besar, tapi akan ada migrasi dukungan.
"Jika bicara dalam konteks debat kemarin, kita sebetulnya bicara dalam kategori pemilih intelektual pergeseran itu tak akan jauh. Tapi cukup memengaruhi migrasi dukungan," ujarnya.
Terkait dominasi survei oleh Herman Deru yang elektabilitasnya tinggi, dia menyebut jika variabelnya adalah potret survei.
"Yang mesti diingat, banyak studi kasus beberapa Pilkada justru dimenangkan kandidat yang tidak dimenangkan lembaga survei. Variabelnya mesin partai, relawan, infrastruktur birokrasi, termasuk kerja-kerja tim untuk dapatkan dukungan pemilih transaksional. Semua kerja itu sering kali tidak terjangkau oleh lembaga survei," jelasnya.
Menurut Haekal, ada tiga model pemilih dalam dinamika kepemiluan. Pertama, pemilih emosional, seperti circle keluarga, paguyuban, hobi, komunitas, primodial daerah, parpol dan lain-lain.
"Pemilih ini adalah basis awal kandidat yang menjadi modal awal dan potensi basis. Pemilih ini relatif terjaga," terangnya.
Kedua, pemilih intelektual yang merupakan kelompok terdidik yang rata-rata dibangun dengan program, visi dan gagasan. Pemilih ini tidak banyak.
"Nah bicara soal debat KPU, variabel pemilih intelektual ini yang berkemungkinan akan bergeser dan beralih dukungan, termasuk ruang-ruang undecided voters juga swing voters. Terakhir adalah pemilih transaksional, pemilih ini memilih di H-14 sampai H-1, yang ruangnya lumayan tinggi di kisaran 10-20 persen," pungkasnya.
(des/des)