Debat perdana Calon Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, Eddy Santana Putra dan Mawardi Yahya berlangsung sengit. Adu argumentasi dan saling serang antar Cagub pun terjadi. Pengamat Politik Sumsel M Haekal Al-Haffafah menilai jawaban dari para Cagub tersebut tidak komprehensif.
"Untuk debat awal cukup baik, meski ada beberapa sesi jawaban kandidat kurang komprehensif. Argumentasi dengan base data itu yang dalam debat sesi ke depan perlu diperkuat oleh seluruh kandidat," ujar Haekal, Selasa (29/10/2024).
Dosen FISIP Universitas Sriwijaya (Unsri) menyebut, ke depan perlu sub tema yang lebih substansial sehingga pembahasannya bukan hanya saling sindir wacana-wacana yang sifatnya normatif melainkan perdebatannya lebih tajam, membumi dan mengakar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam debat pertama terlihat jika Eddy dan Mawardi menyerang Gubernur Sumsel 2018-2023 Herman Deru. Berbagai kritik disampaikan dalam debat, termasuk oleh Wakil Gubernur Sumsel 2018-2023, Mawardi.
"Komposisi ini menarik, kalau kita lihat Deru dikritik oleh dua kandidat lain Eddy dan Mawardi," katanya.
Eddy disebutnya memposisikan diri sebagai antitesa dari keduanya. Sedangkan Mawardi menghadirkan diri sebagai sosok yang membawa visi kebangkitan Sumsel.
"Hanya yang cukup tajam soal kritik Eddy Santana kepada Herman Deru tentang masalah Infrastruktur dan pendidikan yang bobrok. Disebut juga terjadi pungli dan ini menjadi argumentasi cukup kuat untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan Deru tak memberi dampak banyak terhadap dunia pendidikan," katanya.
Dia menilai, pada awal debat semuanya terlihat normatif. Persaingan sengit setelah masuk sesi saling tanggap antar Cagub, terjadi saling kritik dan saling sindir.
"Yang menarik misal saat Herman Deru meminta Mawardi untuk bertanya kepada Kesra (Biro Kesra Setda Sumsel) tentang insentif pengajar tahfiz. Kemudian Mawardi menjawab balik bahwa justru itu Kesra melaporkan kepadanya karena banyak ustaz dan ustazah di pondok pesantren yang tidak menerima insentif di masa Kepemimpinan Herman Deru," ungkapnya.
Haikal juga menyampaikan soal hambatan pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat sebagai KEK (Kawasan Ekonomi Khusus). Menurutnya, butuh investasi besar dalam pembangunannya.
"Kalau kita lihat Tanjung Carat yang dimaksud Mawardi lebih sederhana dari KEK, sebagai pusat bisnis dan pertumbuhan ekonomi baru. Karena memang arus perdagangan itu membutuhkan dermaga dan pelabuhan untuk membuka pusat-pusat industri, sumber pendapatan daerah dan lapangan kerja baru," terangnya.
Dia juga menyampaikan soal perdebatan rumah tahfiz antara Mawardi dan Deru. Hanya memang, bentuk perhatian itu membutuhkan komitmen anggaran. Baik insentif maupun sarana dan prasarana
"Jadi Rumah Tahfiz bukan hanya sekedar aktivitas baca hafal, tetapi juga bicara soal kesejahteraan pengajar dan komitmen terhadap pemberian akses masa depan terhadap santri-santri desa yang berkhidmat di rumah tahfiz dan sekali lagi itu membutuhkan komitmen APBD dari seorang kepala daerah," tukasnya.
(dai/dai)