Haji Alim selaku Direktur PT SMB yang mejadi terdakwa kasus dugaan penyerobotan lahan yang merugikan negara, kembali menjalani sidang di Pengadilan Tipikor PN Kelas IA Palembang, Selasa (16/12/2025). Sidang kali ini dengan agenda eksepsi.
Meskipun kondisi terdakwa Haji Alim yang sedang sakit, namun tetap dihadirkan jaksa dalam persidangan yang dipimpin Hakim Ketua Fauzi Isra.
Tampak terdakwa Haji Alim yang terbaring lemas di atas kasur, mendapatkan pengawalan dan penjagaan ketat dari tim jaksa dan tim kesehatan dari RSUD Siti Fatimah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terdakwa Haji Alim yang dikenal sebagai salah satu orang terkaya di Palembang ini menjalani sidang dengan agenda pembacaan eksepsi atau sanggahan dakwaan jaksa atas kasus dugaan penyerobotan lahan negara proyek Tol Tempino-Betung.
Kepada majelis hakim, ketua tim penasehat hukum terdakwa Haji Halim yakni Jan Samuel Maringka menilai bahwa surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sarat kejanggalan dan cacat hukum, bahkan menyebut sebagian dakwaan telah kedaluwarsa (daluwarsa).
Penasihat hukum mempersoalkan dakwaan JPU yang menyebut H Halim menguasai tanah negara seluas sekitar 1.756 hektare yang dijadikan areal perkebunan pada periode 2006-2009, serta dikaitkan dengan 193 kartu penduduk.
Jadi perbuatan yang dituduhkan tersebut telah berlalu lebih dari 20 hingga 25 tahun, sehingga berdasarkan Pasal 78 ayat (1) KUHP, seharusnya tidak lagi dapat dituntut secara pidana.
"Untuk dakwaan kedua terkait dugaan pemberian sejumlah uang, jaksa sendiri menyebut peristiwa pertama terjadi pada 26 Februari 2005. Artinya, dugaan perbuatan itu telah terjadi sekitar 20 tahun lalu dan sudah kedaluwarsa," ujar Jan di hadapan majelis hakim, Selasa.
Tim penasihat hukum juga menilai adanya penyelundupan pasal dalam surat dakwaan. Dalam dakwaan, JPU menerapkan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 9, serta Pasal 18 Undang-Undang Tipikor juncto Pasal 55 dan Pasal 64 KUHP.
Namun pasal-pasal tersebut tidak pernah muncul secara jelas sejak tahap awal penyelidikan dan penyidikan. Penasihat hukum menyebut terdakwa didakwa tanpa melalui prosedur hukum yang semestinya, yakni tidak pernah diperiksa sebagai saksi maupun ditetapkan sebagai tersangka terlebih dahulu.
Hal tersebut dinilai melanggar prinsip dasar hukum acara pidana, yang mensyaratkan penetapan tersangka harus didukung minimal dua alat bukti.
"Klien kami tiba-tiba didakwa tanpa pernah diperiksa sebagai saksi maupun tersangka. Ini menunjukkan adanya rekayasa penanganan perkara dan pelanggaran serius terhadap hak-hak terdakwa untuk membela diri," ujarnya.
Kuasa hukum juga menyoroti ketidaksinkronan waktu antara surat perintah penyidikan dan peristiwa pidana yang didakwakan. Surat perintah penyidikan disebut terbit pada Maret hingga Juli 2025, sementara jaksa mendalilkan perbuatan pidana terjadi hingga Agustus 2025.
Menurut penasihat hukum, secara logika hukum tidak mungkin surat perintah penyidikan diterbitkan lebih dahulu sebelum peristiwa pidana terjadi.
Atas dasar itu, tim penasihat hukum memohon majelis hakim mengabulkan eksepsi terdakwa dengan menyatakan surat dakwaan JPU tidak dapat diterima atau batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 KUHAP.
"Dalam mengadili perkara ini, kami mengingatkan majelis hakim pada amanat pembaruan sistem pemidanaan nasional, bahwa apabila terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilan harus diutamakan," ujar Jan Samuel Maringka yang menutup pembacaan eksepsinya terdakwa Haji Halim.
Seusai mendengarkan eksepsi terdakwa Haji Halim, majelis hakim kembali menunda sidang dan akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda tanggapan dari JPU atas eksepsi terdakwa Haji Halim.
(csb/csb)











































