Jokowi Disebut di Sidang Kasus Timah, Minta Legalkan Penambang Ilegal

Nasional

Jokowi Disebut di Sidang Kasus Timah, Minta Legalkan Penambang Ilegal

Mulia Budi - detikSumbagsel
Rabu, 11 Sep 2024 19:19 WIB
Crazy rich PIK, Helena Lim kembali jalani sidang kasus korupsi pengelolaan timah. Sidang kali ini menghadirkan lima orang saksi.
Sidang kasus timah. Foto: Pradita Utama/detikcom
Jakarta -

Mantan Kepala Unit Produksi PT Timah Tbk untuk wilayah Bangka Belitung, Ali Samsuri, dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi pengelolaan timah Rp 300 triliun. Dalam kesaksiannya, Ali menyebutkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat minta PT Timah mengakomodasi masyarakat yang menjadi penambang timah ilegal.

Dilansir detikNews, Ali bersaksi untuk Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (Direktur Utama PT Timah Tbk 2016-2021), Emil Ermindra (Direktur Keuangan PT Timah Tbk 2016-2020), dan MB Gunawan (Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa). Ali sendiri mengaku masih bekerja di PT Timah pada 2018 ketika program izin usaha jasa pertambangan (IUJP) berjalan.

Pengakuan itu ia sampaikan sebagai jawaban atas pertanyaan jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (11/9). Jaksa menyebut pelaksanaan IUJP dimulai 2015 dan Ali mengatakan hal itu masih berlangsung saat dirinya menjabat pada 2018.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jaksa juga menanyakan apakah Ali pernah mendengar pemilik IUJP bertindak sebagai pengepul bijih timah dari penambang ilegal atau tidak. Ali menjawab tidak pernah.

"Kalau menjadi pengepul penambang timah ilegal, saya tidak dapat kabar. Tapi kalau yang saya sampaikan tadi, misalnya di sekitaran tambang masyarakat yang bermitra secara resmi tadi, misalnya ada penambang masyarakat yang tidak berizin ini, yang kita minta untuk ini bisa dibina, misalnya sama-sama masih dalam IUP, itu saja," jelas Ali.

ADVERTISEMENT

Kemudian jaksa menanyakan penjualan bijih timah dari masyarakat penambang ilegal melalui pemilik IUJP. Di sini, Ali mengatakan Presiden Jokowi saat itu meminta PT Timah untuk mengakomodasi penambang ilegal.

"Artinya kan yang tadi tambang-tambang ilegal itu berarti menggunakan perusahaan pemilik IUJP itu ketika menjual bijih timahnya, itu Saudara tidak praktik seperti itu terhadap mitra-mitra seperti itu, ya?" tanya jaksa.

"Tidak semua. Karena kita waktu itu kan diperintahkan, waktu apa ya, ada kunjungan Presiden RI ke Babel, Yang Mulia. Terus banyak yang mengeluhkan masalah tambang ilegal dan statement beliau (Jokowi) adalah, 'Ya itu semua masyarakat saya, minta tolong bagaimana caranya yang ilegal ini menjadi legal'," ujarnya.

Menurut Ali, PT Timah melakukan pembinaan terhadap masyarakat yang menjadi penambang timah ilegal agar tak lagi dikejar aparat keamanan, sekaligus sebagai tindak lanjut permintaan Presiden.

"Jadi ya itulah waktu itu bagaimana masyarakat yang ada di sekitar-sekitar tambang yang ada IUP (izin usaha pertambangan) SPK (surat perintah kerja) kita itu yang dibina biar mereka tidak dikejar-kejar oleh aparat," jelas Ali.

Masyarakat penambang ilegal yang dibina itu menggunakan mesin kecil. Sementara mitra IUJP menambang dengan alat berat seperti ekskavator dan buldozer. Ali menyebutkan mitra IUJP tak hanya menambang di lokasi bekas tambang, melainkan juga di lokasi baru.

"Itu yang sifatnya nomaden, masyarakat umum yang mereka menambang pakai mesin kecil. Kalau yang IUJP mereka rata-rata sudah menggunakan alat berat," ujar Ali menjawab pertanyaan jaksa.

Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, negara mengalami kerugian Rp 300 triliun akibat pengelolaan timah ilegal ini. Perhitungan didasari laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei 2024.

Kerugian negara yang dipaparkan jaksa juga meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah. Sementara itu, ahli lingkungan hidup menghitung kerugian negara yang menyebabkan kerusakan lingkungan mencapai Rp 271 triliun.




(des/des)


Hide Ads