Kota Lubuklinggau merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki banyak wisata dan budaya bersejarah. Salah satunya yakni Kampung Budaya Batu Urip yang jarang diketahui banyak orang.
Batu urip sendiri merupakan salah satu kelurahan yang ada di Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Kelurahan ini merupakan kawasan yang memiliki banyak peninggalan sejarah seperti rumah adat asli Kota Lubuklinggau yang masih berdiri kokoh di sana.
Kelurahan Batu Urip berada di tepi Sungai Kelingi, Kecamatan Lubuklinggau Utara II dengan penduduk asli yaitu Marga Sindang Kelingi Ilir. Hampir 80% masyarakat di wilayah tersebut adalah warga asli Lubuklinggau yang masih menggunakan logat dan bahasa daerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, kelurahan ini dihiasi dengan rumah-rumah panggung peninggalan masyarakat zaman dahulu yang berpotensi besar dengan meningkatkan perekonomian masyarakat melalui pariwisata. Hal ini pun membuat nuansa budaya yang masih terasa kental disana.
Pemandu Museum Subkoss Lubuklinggau Berlian Susetyo mengatakan penamaan Batu Urip berdasarkan arti kata 'Batu Urip' itu sendiri yakni 'Batu' yang merujuk pada benda keras dan padat berbentuk bulat yang ditemukan di sungai maupun di jalan.
"Sementara kata 'Urip' dari dalam bahasa Jawa yang berarti 'Hidup'. Jadi makna Batu Urip itu berarti batu hidup. Hal ini karena konon dulu masyarakat disana menemukan sebuah batu yang dapat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain serta mengeluarkan darah saat terkena benda tajam," katanya saat dikonfirmasi detikSumbagsel, Senin (1/12/2025).
Dari cerita tersebutlah, kata Berlian, menjadikan tempat tersebut dikenal sebagai 'batu hidup'. Sejak saat itu jugalah nama terdahulu dusun tersebut yaitu 'Kersek Bongen' yang waktu itu dipimpin oleh Kerengak berganti nama menjadi 'Batu Urip'.
Saat ini, ungkap Berlian, Kampung Batu Urip telah ditetapkan sebagai kampung budaya oleh pemerintah Kota Lubuklinggau. Hal ini dikarenakan Batu Urip merupakan daerah dengan penduduk atau masyarakat asli pribumi Lubuklinggau.
"Batu Urip mempunyai ragam tradisi turun temurun sejak nenek moyang sampai saat ini diantaranya tradisi sedekah rame, mandi kasai, senjang, berejong, bepanton, nandai, tari, naek yang kule, dan permainan tradisional lainnya," sebutnya.
Berlian mengungkapkan Kampung Batu Urip juga termasuk perkampungan tua yang sudah ada sejak masa Kesultanan Palembang. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa situs pemakaman tua (Makam Keramat Kerengak) yang berbentuk menhir di sekitar wilayah Batu Urip.
"Berdasarkan observasi, terdapat lima sektor pemakaman tua disana. Sebagaimana pola pemukiman lama lainnya di Pulau Sumatera, Batu Urip memiliki pola yang sama yaitu perkampungan yang berorientasi ke arah sungai sehingga perubahan budaya sungai ke darat berpengaruh kepada kehadiran bangunan rumah baik yang lama maupun yang baru," ungkapnya.
Keberagamaan budaya Batu Urip tersebut tidak terlepas dari cerita sejarahnya. Berlinang menceritakan dahulu di Kampung Batu Urip terdapat seorang tokoh masyarakat bernama Karye Mambul yang sangat berpengaruh pada masa itu.
"Jadi Karye Mambul ini merupakan seorang yang cerdas, berani dan mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu kebatinan. Jabatannya pada masa itu sama dengan ginde atau lurah jika untuk zaman sekarang," ujarnya.
"Si Karye Mambul ini merupakan orang yang dipercayai sebagai utusan untuk menyetor pajak ke Kesultanan Palembang sehingga ia sering melakukan perjalanan ke Palembang. Dari perjalanannya itulah dimanfaatkan Karye Mambul untuk mempelajari banyak hal seperti tradisi pertunangan, tradisi perkawinan, tradisi mandi kasai, termasuk tradisi sedekah rame," lanjutnya.
Setelah paham dan menguasai berbagai tradisi tersebut, Karye Mambul secara bertahap mulai menerapkan berbagai hal tersebut di tempat asalnya yaitu di Kampung Batu Urip.
(dai/dai)











































