Bagi kebanyakan orang, terutama yang pernah menyaksikan sinetron Siti Nurbaya, sosok HIM Damsyik tak akan luput dari ingatan. Sosoknya begitu identik dengan tokoh Datuk Maringgih dalam sinetron tersebut.
Hari ini, 3 Februari 2025, tepat 13 tahun berpulangnya HIM Damsyik. Sang aktor sekaligus penari itu tutup usia pada 3 Februari 2012 di Rumah Sakit Cinere, Depok, Jawa Barat. Jasadnya kemudian dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.
Sementara itu, tanah kelahirannya yakni Teluk Betung, Lampung. Ia lahir dengan nama Incik Muhammad Damsyik pada 14 Maret 1929. Untuk diketaui, 'HIM' dalam nama besarnya merupakan singkatan dari Haji Incik Muhammad.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
HIM Damsyik aktif berkarya sejak tahun 1959 hingga 2012. Dalam seni peran, ada puluhan judul film dan sinetron yang pernah ia bintangi. Namun yang paling melambungkan nama HIM Damsyik adalah peran Datuk Maringgih dalam sinetron Siti Nurbaya.
Sekilas tentang Sinetron Siti Nurbaya 1991/1992
Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai merupakan roman yang ditulis Marah Roesli pada 1889. Itu seperti yang diterangkan dalam bab pendahuluan jurnal berjudul Adaptasi Roman Siti Nurbaya Karya Marah Roesli dalam Penciptaan Naskah Monolog Mengurai Pekat Mendung. Jurnal tersebut disusun Fitri Rahmah dan Nurwanto dari Jurusan Teater Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Menurut mereka, roman tersebut tidak hanya sekadar mengisahkan kisah percintaan antara Siti Nurbaya dan Samsul Bahri yang kandas karena persoalan ekonomi. Akan tetapi, roman tersebut juga menyiratkan makna mengenai perjuangan, pengorbanan, strata sosial, serta karakteristik manusia yang terus mengalami perubahan seiring dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.
Roman Siti Nurbaya memiliki latar budaya Minangkabau. Latar budaya itu juga banyak mempengaruhi sudut pandang cerita yang dikisahkan Marah Roesli. Roman itu sangat legendaris di Indonesia, dan booming ketika kisah Siti Nurbaya ditayangkan di TVRI pada 1991/1992.
Sinetron itu merupakan karya yang disutradarai Dedi Setiadi, dengan dibintangi aktor-aktor kenamaan Indonesia pada masa itu. Beberapa di antaranya seperti Novia Kolopaking sebagai Siti Nurbaya, Gusti
Randa sebagai Samsul Bahri, dan HIM Damsyik sebagai Datuk Maringgih.
HIM Damsyik Begitu Identik dengan Tokoh Datuk Maringgih
Banyak aktor yang begitu identik dengan tokoh yang diperankan. Beberapa di antaranya seperti Rano Karno yang identik dengan tokoh Doel dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan, dan Didi Petet yang identik dengan tokoh Kabayan. Bahkan, Didi juga identik dengan tokoh Emon dalam film Catatan Si Boy.
Lalu ada HIM Damsyik yang begitu identik dengan tokoh Datuk Maringgih dalam sinetron Siti Nurbaya. Itu seperti yang disebutkan dalam skripsi berjudul Analisis Karakter Tokoh Film pada Zaman Dahulu 'Episode Jangan Bersahabat dengan Kera' di MNCTV. Skripsi tersebut disusun Ita Maunatul Hasanah dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang (2019).
Munculnya pengidentikan Damsyik dengan Datuk Maringgih adalah salah satu ciri karakter yang diperankan benar-benar tampil wajar dan alami, sehingga demikian menempel pada pemeran yang membawakannya. Yang demikian jarang terjadi, sehingga tetap sedikit jumlahnya walau ada puluhan bahkan ratusan sinetron dibintangi seorang pemeran.
Dikutip Ita menurut pengamatan Eddy D Iskandar, masalahnya terletak pada ketidakjelasan karakter tokoh. Sehingga ketika diekspresikan oleh bintang besar pun, tokoh itu tetap membosankan dan kaku.
Seorang tokoh adalah seperti manusia biasa dalam kehidupan sehari-hari. Ia tidak hidup sendiri, tetapi membawakan karakter dan watak yang khas, memiliki lingkungan hidup dan orang-orang yang
sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupannya.
Ia juga seperti manusia kebanyakan, selalu berinteraksi dengan individu lain sehingga saling mempengaruhi, terjadi komunikasi, dan saling menyesuaikan diri. Sekalipun tokoh dalam cerita adalah rekaan, sebenarnya bukan semata-mata rekaan karena juga sebagai replika dari sebuah kehidupan yang nyata.
Tokoh-tokoh yang ada tapi tiada inilah yang akan diterima oleh masyarakat (penonton), juga akan sangat membantu menjalin sebuah rangkaian cerita yang menarik. Jadi setiap tokoh yang direka dalam sebuah sinetron, ketika ia bicara, bukan lagi seperti omongan penulisnya. Sebaliknya, si penulis yang harus mengacu pada karakter yang diinginkan.
Hanya dengan membangun sebuah karakter seperti itulah, sebuah sinetron menjadi enak untuk ditonton. Dengan karakter yang tidak jelas, sebuah cerita tidak akan menarik. Kita akan menemukan seluruh tokoh itu sama, senada, bahkan pada kosakatanya. Penonton pasti menjadi jengah.
(sun/mud)