Kahlil Gibran (6 Januari 1883-10 April 1931): Patah Hati Pertamanya

Kahlil Gibran (6 Januari 1883-10 April 1931): Patah Hati Pertamanya

Suki Nurhalim - detikSumbagsel
Senin, 06 Jan 2025 17:10 WIB
Ilustrasi patah hati
Ilustrasi patah hati/Foto: Thinkstock
Palembang -

Tepat 142 tahun yang lalu, Kahlil Gibran lahir di Bsharri, Lebanon. Ia kemudian dikenal sebagai penyair besar dan namanya abadi dalam karyanya sampai sekarang.

Gibran lahir pada 6 Januari 1883. Masa kecilnya sering dilewati dengan merenung, sambil menatap panorama alam dari atas gunung. Terkadang, ia duduk tenang sembari melepaskan pandangan ke telaga yang memancarkan air di cela-cela bebatuan.

Itu seperti yang digambarkan Mardjoko Idris, dosen Fakultas Adab jurusan Bahasa dan Sastra Arab, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta saat menempuh program doktor (S3). Jurnalnya berjudul Kahlil Gibran (1883-1931) dan Petualangan Cinta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ayah Gibran bernama Kahlil Gibran Ibn Sa'ad Ibn Yusuf Ibn Gibran. Sementara ibunya yakni Kamila binti Khury Asthofary. Pada 1895, Kamila membawa anak-anaknya termasuk Gibran pindah ke Amerika Serikat (AS).

Namun saat genap berusia 16 tahun, Gibran kembali ke tanah airnya untuk memperdalam pengetahuan Bahasa Arab. Ia menetap di Beirut dan ketika libur sekolah, Gibran mengunjungi sang ayah di Bsharri.

ADVERTISEMENT

Kunjungan demi kunjungan itu mengenalkan Gibran dengan apa yang namanya cinta. Ia jatuh cinta dengan gadis bernama Hala Dhahir.

Hala merupakan putri dari teman akrab ayah Gibran. Menurut Mardjoko, nama Hala terus disebut dalam Novel Gibran yang berjudul Al-Ajnihatul Mutakssirah. Di mana nama Hala disamarkan dengan tokoh Selma Karami.

Penggambaran Hala Dhahir

Hala digambarkan sebagai perempuan yang cantik jiwa dan raga. Suaranya lirih dan merdu. Kata-katanya seperti embun yang jatuh dari mahkota bunga saat tertiup angin.

Di mata Gibran, Hala adalah wanita tercantik yang pernah mengisi hatinya. Kisah cintanya dengan Hala juga diabadikan dalam karya berjudul Sayap-sayap Patah, di mana nama Hala bersemayam dalam tokoh Selma Karami.

Kisah cintanya terbilang klasik. Gibran jatuh cinta pada pandangan pertama. Gibran awalnya sering membantu adik-adik Hala mengerjakan tugas sekolah. Di saat itulah mereka kerap bertemu pandang dan sampai mencurahkan isi hati. Benih-benih cinta mereka tumbuh subur saat ayah Hala merasa terhibur dengan kehadiran Gibran.

Gibran dan Hala sering jalan-jalan ke hutan. Kebersamaan membuat rasa cinta mereka merasuk ke dalam kalbu dan terpatri kuat dalam relungnya.

Cinta Terhalang Restu

Kisah cinta mereka tak semulus di awal. Keluarga Hala tidak merestui hubungan mereka. Terutama kakak Hala, Iskandar Dhahir. Hala pun tak kuasa menentang keputusan keluarga.

Hala kemudian kawin dengan laki-laki lain pilihan keluarganya. Dalam novel Al-Ajnihatul Mutakssirah, nama laki-laki tersebut disamarkan dengan tokoh Mansyur Bey Galib.

Dikisahkan, Mansyur Bey adalah tokoh yang begitu mudah menggapai segala kemewahan hidup. Namun tetap serakah dan tak pernah puas. Setelah ayah Selma meninggal, Mansyur Bey mendapat limpahan kekayaan. Sementara Selma hidup penuh duka dan nestapa.

Dari perkawinan itu, Hala dikaruniai bayi laki-laki. Namun saat lahir, bayi itu gemetar dan menutup mata untuk selamanya. Tak lama kemudian, Hala menyusul kepergian putranya itu.

Hala merupakan cinta pertama Gibran. Romansa mereka disebut mengilhami lahirnya novel autobiografi berjudul Sayap-sayap Patah yang melegenda. Dalam sumber lain disebutkan judul novel tersebut diilhami dari ucapan ibu Gibran.

Kandas dalam kisah cinta pertamanya, Gibran memilih kembali ke Amerika Serikat pada 1901. Namun di Negeri Paman Sam, kesedihan lain menyelimuti Gibran. Ibu dan beberapa saudaranya meninggal secara beruntun. Gibran menjadi suka menyendiri dan merasa terasing di keramaian.

Perempuan-perempuan Lainnya

Selain Hala, ada sederet nama perempuan yang disebut pernah dekat dengan Gibran. Mereka yakni Emilee Michel, Mary Elizabert Hiskel, hingga May Ziadah.

Gibran tutup usia di New York pada 10 April 1931 saat genap berusia 48 tahun. Jenazahnya dibawa ke Lebanon dan dimakamkan di Lembah Kadisya, dalam sebuah kuil tua tempat memadu cinta pertamanya di bawah keteduhan hutan Cedar Suci. Gibran meninggalkan harta benda, lukisan, serta buku-buku untuk keluarga, kekasih, penduduk Bsharri dan kita semua.




(sun/des)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads