Benteng Kuto Besak: Pelindung Keraton Peninggalan Kesultanan Palembang

Sumatera Selatan

Benteng Kuto Besak: Pelindung Keraton Peninggalan Kesultanan Palembang

Candra Budi - detikSumbagsel
Senin, 22 Mei 2023 18:37 WIB
Benteng Kuto Besak masih berdiri kokoh meski berusia ratusan tahun
Benteng Kuto Besak masih berdiri kokoh meski berusia ratusan tahun (Foto: Candra Budi)
Palembang -

Benteng Kuto Besak (BKB) merupakan salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Palembang. Sempat dikuasai Belanda, benteng ini masih berdiri kokoh meski berusia ratusan tahun.

BKB berada di tepian Sungai Musi tepatnya di Jalan Sultan Mahmud Badaruddin, Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Bukit Kecil.

Sampai saat ini, bangunan BKB masih berdiri kokoh. BKB sendiri dibangun masyarakat pribumi, bukan oleh Belanda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"BKB ini sebenarnya dibangun pada massa Kesultanan Palembang, dibangun kita sendiri bukan oleh Belanda," kata Sejarawan Palembang Kemas A.R Panji, Senin (22/5/2023).

Dia mengatakan, banyak benteng-benteng di Indonesia ini dibangun oleh Belanda, Inggris, Portugis. Uniknya, benteng kita ini dibangun oleh orang kita sendiri.

ADVERTISEMENT

BKB, kata dia, panjangnya 288,75 meter, tingginya 9,99 meter atau 30 kaki, kemudian ketebalan dindingnya 1,99 meter atau 60 kaki.

Kemas menjelaskan, awalnya BKB bukan disebut benteng, karena di dalamnya ada istana atau keraton. Sebenarnya, dibangun nya itu untuk melindungi keraton.

"Karena sudah modern sudah disiapkan senjata seperti meriam kecil dan besar itulah disebut sebagai pertanahan. Tapi tidak pernah disebut benteng," ungkap dosen UIN Raden Fatah Palembang ini.

Dia menceritakan, gagasan untuk membangun BKB itu diprakarsai oleh Sultan Muhammad Badaruddin (SMB) I yang memerintah pada tahun 1724-1758. Benteng itu mulai dibangun pada tahun 1780.

Pembangunan BKB ini sendiri, sambungnya, kemudian diselesaikan oleh Sultan Bahauddin yang merupakan anaknya. Anaknya memerintah pada 1776-1803.

"Jadi di zaman anaknya itulah BKB dibangun 1780. Setelah selesai, dipakai oleh Sultan-sultan hingga akhirnya dikuasai Belanda," jelas Pengurus Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) Kota Palembang ini.

Kemudian, kata dia, pada tahun 1821 SMB II diasingkan, 1823 pemerintahan yang dikuasai adik SMB II pun selesai dan dipegang oleh Belanda. Lalu, pada 1825 Kesultanan Palembang resmi dibubarkan oleh Belanda dan benteng itu pun dikuasai.

"Sistem pemerintahan Belanda menyebutnya kresidenan Palembang. Nah, benteng yang tadinya namanya istana diubah penyebutannya menjadi BKB hingga sekarang. Jadi penamaan benteng sendiri sejak dikuasai belanda. Sultan menyebutnya bukan benteng tapi istana," kata Peneliti di Pusat Kajian Sejarah Dan Budaya Sumsel (PUSKASS) ini.

"Kenapa nama itu diubah, karena Belanda ingin merubah image dan menghilangkan sejarah kesultanan," sambungnya.

Kata Kemas, dulunya di Palembang ada beberapa istana mulai dari Pusri namanya Istana Kuto Gawang, Beringin Janggut, Kuto Cerancangan sampailah kuto besak, bahkan sebelumnya ada kuto kecik.

"Kuto kecik itu, yang sekarang menjadi museum SMB II. Sementara yang istana di Kuto Besak maksudnya lebih besar dan memakai pertanahan dan yang kecil tidak. Makanya oleh Belanda disebut benteng," ungkap Aliansi Masyarakat Pecinta Cagar Budaya (AMPCB) ini.

Dia menambahkan, ketika Indonesia sudah merdeka pada tahun 1945, Belanda masih berada di Palembang hingga terjadilah perang pada 1947 yakni perang lima hari lima malam.

Ketika Belanda benar-benar angkat kaki, pada tahun 1950-an benteng itu akhirnya diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia (RI).

"Pemerintah menyerahkannya kepada militer (TNI) karena waktu itu dianggap kondisi gawat darurat, karena dianggap gedung-gedung penting dan sampai sekarang tidak pernah dibalikkan lagi kepada zuriatnya," ujarnya.




(mud/mud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads