Presiden Amerika, Donald Trump mematok tarif ekspor China sebesar 125%. Dan untuk Indonesia, Trump mematok tarif ekspor sebesar 32%. Apakah Provinsi Lampung akan berdampak dengan adanya hal tersebut?
Akademisi Universitas Bandar Lampung, Andala Rama Putra menilai akan ada dampak positif dan negatif bagi pemerintah maupun para pelaku usaha.
"Kemungkinan dampak negatif yang bisa terjadi diantaranya yakni penurunan daya saing produk ekspor Indonesia. Tarif impor yang tinggi membuat harga produk Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS, sehingga konsumen dan importir AS bisa beralih ke negara lain atau bahkan konsumen AS menggunakan produk domestik mereka sendiri, seperti yang diinginkan Presiden Trump," katanya, Kamis (10/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selain dampak negatif tentu masih ada peluang atau dampak positif secara tidak langsung dari kebijakan tarif ini. Di antaranya peluang untuk melakukan diversifikasi pasar. Pelaku ekspor bisa mencari pasar alternatif selain AS. Misalnya menjangkau pasar non-tradisional seperti India, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin agar tidak terlalu bergantung pada AS," lanjutnya.
Menurut Andala, ekspor Provinsi Lampung akan turut berimbas dengan adanya kebijakan Presiden Trump itu. Sebab, produk unggulan Provinsi Lampung yang diekspor ke pasar luar negeri khususnya Amerika diprediksi akan mengalami penurunan ekspor.
"Kemungkinan secara khusus dampak negatifnya bagi Provinsi Lampung yang mungkin timbul yakni komoditas seperti kopi, karet, sawit, singkong dan bahkan pisang yang merupakan andalan Lampung tentu akan terdampak. Jika tarif AS meningkat, produk ini dan turunannya bisa kurang kompetitif di pasar Amerika," ungkapnya.
Selanjutnya, kata Andala, pemerintah Provinsi Lampung perlu secara cepat dan tepat melakukan hilirisasi di sektor ini agar produk yang dihasilkan memiliki nilai kompetitif yang tinggi.
Selain dampak pada sektor ekspor, Andala menyoroti dampak di sektor lainnya seperti ketenagakerjaan. Menurutnya, hal ini bisa memicu pengurangan tenaga kerja atau PHK massal.
"Penurunan ekspor dapat memicu pengurangan tenaga kerja pada sektor-sektor terkait. Kemudian ini juga bisa berimbasnya bagi pendapatan daerah, tentu turunnya ekspor berpotensi menurunkan kontribusi pajak dan retribusi dari sektor industri dan perdagangan luar negeri," jelas Andala.
Adapun dampak positifnya secara khusus bagi Provinsi Lampung terhadap kebijakan ini yakni pelaku ekspor bisa melakukan diversifikasi pasar. Para pelaku bisnis di Lampung dapat mendorong ekspor ke negara-negara non-AS seperti Timur Tengah dan Asia Selatan.
"Lampung memiliki Pelabuhan Panjang yang memudahkan pengiriman produk ke negara-negara alternatif tersebut. Kondisi seperti ini bisa memaksa pelaku bisnis melakukan penguatan hilirisasi yang tentu harus didukung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro pebisnis dan kerjasama yang baik dengan para stakeholder," tutur Andala.
"Sehingga dukungan untuk tidak bergantung pada ekspor mentah bisa mempercepat pengembangan industri pengolahan kopi, sawit, singkong bahkan pisang di Lampung," sambung dia.
Dengan kondisi ini, Andala menyarankan alternatif lain untuk pemerintah pusat dengan bernegosiasi melalui perdagangan bilateral dengan pemerintah Amerika melalui konsep yang saling menguntungkan.
"Pemerintah Indonesia bisa melakukan Negosiasi Perdagangan Bilateral dengan pemerintah AS dengan konsep yang saling menguntungkan, misalnya, melalui IPEF (Indo-Pacific Economic Framework). Selain itu juga bisa memanfaatkan skema preferensi lain, misalnya dengan skema GSP dari negara lain (misalnya Uni Eropa) atau memanfaatkan FTA (Free Trade Agreement) kawasan seperti RCEP dan ASEAN," pungkas Andala.
(dai/dai)