PPN 12% menyapa masyarakat Indonesia memasuki Tahun Baru 2025 ini. Sudah diprotes berbagai pihak selama akhir tahun 2024, kenaikan PPN tetap diberlakukan pemerintah. DPR pun meyakini bahwa kenaikan PPN tak bakal membuat daya beli masyarakat turun.
Dilansir detikNews, Wakil Ketua DPR Adies Kadir mengatakan kenaikan PPN menjadi 12% merupakan amanat undang-undang. Dia mengklaim penghitungan sudah dilakukan secara cermat sehingga tidak akan membebani masyarakat.
"Ini merupakan amanat undang-undang yang telah disepakati bersama dan kebijakan PPN 12% sudah melewati pertimbangan teknokratis yang saksama sehingga tidak akan memukul daya beli masyarakat atau menimbulkan inflasi yang tak terkendali," terang Adies Kadir, Selasa (31/12/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Undang-undang yang dimaksud yakni UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Adies yakin kenaikan PPN tidak akan melemahkan daya beli masyarakat karena hanya 33% barang dan jasa yang merupakan objek PPN. Sisanya sebesar 67% tidak dikenai PPN.
Adapun daftar barang yang tak dikenai PPN tersebut, menurut Adies, antara lain kebutuhan pokok sehari-hari seperti beras, sayur, daging, ikan, telur, susu segar, dan gula konsumsi. Dia menambahkan bahwa jasa kesehatan, pendidikan, transportasi umum, tenaga kerja, keuangan dan asuransi, rumah sederhana, hingga pemakaian listrik dan air minum tidak termasuk objek PPN.
"Artinya, sebagian besar komoditas yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari tidak terpengaruh oleh kenaikan tarif PPN," ungkap Adies.
Adies meminta pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara jelas terkait kebijakan kenaikan PPN agar tidak terjadi kegaduhan. Dia menegaskan agar pemerintah harus menaati UU tetapi perlu menjaga ekonomi masyarakat.
"Dan pemberlakuan PPN 12% secara selektif pada barang-barang kategori mewah merupakan win-win solution bagi semua pihak," tegasnya.
Menurut Adies, kenaikan PPN di Indonesia dianggap relatif lebih longgar dibandingkan negara lain. Contohnya di Vietnam, batas bawah tarif PPN adalah 5%, sedangkan Indonesia 0% yang mencakup 67% atau sebagian besar barang konsumsi masyarakat.
"Jangan sampai hitung-hitungan teknokratis yang matang malah jadi meleset karena adanya sentimen negatif di pasar dan di industri. Saya harap seluruh pihak bijak menyikapi kenaikan pajak ini," tuturnya.
(des/des)