Sumsel Punya Potensi EBT 21.032 MW, Baru Digarap 4,7%

Sumatera Selatan

Sumsel Punya Potensi EBT 21.032 MW, Baru Digarap 4,7%

Reiza Pahlevi - detikSumbagsel
Rabu, 23 Okt 2024 20:20 WIB
Pemerintah Indonesia menargetkan bauran energi baru terbarukan atau EBT mencapai 23 persen pada 2025. Meski sulit upaya untuk itu terus dikejar.
Ilustrasi energi baru terbarukan (Foto: Pradita Utama)
Palembang - Transisi energi dari sumber daya alam berbahan fosil ke energi baru terbarukan (EBT) terus digalakkan di Sumatera Selatan. Potensi EBT wilayah ini mencapai 21.032 MW, sementara yang baru dimanfaatkan 989,12 MW.

"Baru 4,7% potensi EBT yang dimanfaatkan atau sebanyak 989,12 MW dari potensi 21.032 MW yang ada," ujar Kepala Bidang Energi, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsel, Rabu (23/10/2024).

Dia menyebut, peran pemerintah daerah sangat penting mewujudkan transisi energi. Sehingga sinergi harus dilakukan dengan semua pihak, di antaranya akademisi, BUMN, sektor swasta dan masyarakat. Sinergi itu bisa jadi kunci mempercepat realisasi target EBT.

"Lima tahun ke depan ada rencana pengembangan, di antaranya penyiapan survei dan studi kelayakan proyek EBT, penyempurnaan regulasi, peningkatan kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi seperti PLTP Lumut Balai 55 MW dan PLTP Danau Ranau 20 MW. Dan kerjasama internasional dengan pengembang China untuk PLTS 300 MW," katanya.

Koordinator Riset Sosial Kebijakan dan Ekonomi Institute for Essential Services Reform (IESR) Martha Jesica mengatakan, transisi energi perlu dilakukan namun harus memperhatikan ekonomi berkelanjutan di daerah.

Tantangan terbesar dalam implementasi RUED (rencana umum energi daerah) adalah keterbatasan kapasitas fiskal dan jalur perencanaan energi daerah yang panjang karena harus selaras dengan rencana pembangunan daerah.

"Selain itu, proporsi alokasi belanja program EBT di daerah masih rendah, rata-rata 18 persen dari APBD. Jadi, meskipun potensi EBT besar, upaya realisasi memerlukan penguatan dan koordinasi lebih baik dengan semua pihak," ujarnya.

Setidaknya, dibutuhkan 245 miliar USD atau sekitar Rp 3.500 triliun sampai 2030 untuk pembiayaan perubahan iklim berdasarkan target Nationally Determined Contributions (NDC) yang dikeluarkan Kementerian Keuangan. Sementara investasi untuk transisi energi sektor ketenagalistrikan butuh 800-1.380 miliar USD Dolar hingga 2050.

"Dirata-ratakan butuh sekitar 30-40 miliar USD atau sekitar Rp 624 triliun per tahun berdasarkan riset kami dan lembaga lainnya," ungkapnya.

Namun realisasi investasi 2023 di Indonesia hanya 1,5 miliar USD, belum mencapai target 1,8 miliar USD. Angka itu tak sebanding dengan investasi energi fosil yang mencapai 27,06 miliar dolar AS. "Bahkan angka itu meningkat dibandingkan tahun sebelumnya," tambahnya.

Sementara berdasarkan penganggaran di APBN, alokasi pengembangan EBT juga rendah hanya sekitar 2 miliar USD yang dialokasikan dalam delapan tahun terakhir. Padahal, sumber pendanaan potensial bisa didapatkan. Seperti dari Just Energy Transition Partnership (JETP), dimana Indonesia mendapat pembiayaan 21 miliar USD.

"Hingga Juli 2023, Indonesia sudah mengantongi 1 miliar USD atau sekitar Rp16,2 triliun yang salah satunya digunakan untuk pembangunan pembangkit geothermal," katanya.

Indonesia juga mendapat pembiayaan sekitar 500 juta USD dari ADB (Asian Development Bank). Sumber pembiayaan lain dari perdagangan karbon yang sejak diluncurkan 2023-Agustus 2024 baru mencapai Rp 6,14 miliar. Hingga saat ini hanya tujuh provinsi yang mencapai target realisasi bauran EBT, salah satunya Sumsel.


(mud/mud)


Hide Ads