Tawa, tangis, dan teriakan anak-anak riuh terdengar di halaman Yayasan Bina Insani Anak Istimewa, Kota Jambi. Suara-suara itu silih berganti, berpadu dengan nyanyian lagu kanak-kanak dan bola-bola mainan yang jatuh ke lantai.
Di antara keramaian itu, ada Rayyan (6), anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) tipe pasif. Tak seperti anak lain yang sibuk bermain, Rayyan lebih sering duduk diam menatap lantai. Emosinya bisa berubah tiba-tiba bahkan kadang tanpa alasan, air matanya jatuh saat sedang mewarnai atau menyusun puzzle.
"Rayyan ini umurnya sudah 6 tahun, tapi kondisi mentalnya masih seperti anak 4 tahun," kata Indah Setyorini, guru pendamping Rayyan, saat berbincang dengan detikSumbagsel.
Rayyan termasuk satu dari 26 anak berkebutuhan khusus (ABK) yang menjalani terapi di Yayasan Bina Insani. Sebagian besar dari mereka mengalami ADHD, autisme, atau down syndrome. Namun belakangan, tantangan baru muncul, kecanduan gawai.
Menurut pendiri yayasan, Edi Purnomo, hampir semua anak yang datang ke tempatnya sudah mengalami ketergantungan terhadap gawai. Mereka bisa tantrum ketika ponselnya diambil, sulit fokus, hingga mengalami keterlambatan bicara dan kemampuan sosial.
"Keluhan anak kecanduan handphone ini yang paling sering ditemui. Rata-rata anak di sini mengalami hal itu," ujar Edi.
Penerapan Diet Elektronik
Dari kondisi itulah, Yayasan Bina Insani menerapkan program Diet Elektronik, yakni terapi untuk mengurangi paparan gawai dan mengembalikan fokus anak terhadap dunia nyata.
"Yang kami maksud diet elektronik itu terhadap penggunaan gawai, iPad, tab, maupun televisi," jelasnya.
Di ruang terapi, tidak ada layar, tablet, atau televisi. Anak-anak belajar lewat media nyata, mewarnai, menyusun puzzle, mengenal warna dan bentuk. Aktivitas sederhana itu menjadi bagian dari proses pemulihan fokus dan empati.
"Kami menghindari semua alat pembelajaran dari barang elektronik. Ada waktu khusus screen time, tapi hanya setiap Sabtu," kata Indah di sela waktu mengajarnya.
Waktu "screen time" itu pun diawasi ketat. Anak-anak menonton film pembelajaran bersama guru untuk melatih kedisiplinan dan mengenalkan konsep batasan waktu.
Peran Orang Tua Jadi Kunci
Edi menegaskan, kontrol terhadap barang elektronik seharusnya dimulai dari rumah. Banyak orang tua, katanya, tak sadar bahwa merekalah yang pertama kali memperkenalkan gawai pada anak sebagai "penenang" saat anak rewel atau bosan.
"Ketika anak menangis, dikasih handphone. Saat makan, dikasih lagi. Akhirnya, anak jadi bergantung. Itu yang membuat mereka bermasalah," ungkapnya.
Penerapan Diet Elektronik ini harus mendapat dukungan orang tua. Edi menjelaskan bahwa orang tua setiap anak yang menjalani terapi di Yayasan Bina Insani, juga diberi pemahaman dan pembelajaran.
Setelah di tahap itu, anak sebenarnya baru bisa menjalani terapi. Tak mudah memang membuat anak sekelebat lupa terhadap gawai yang selama ini menjadi pusat perhatiannya. Hal pertama yang dilakukan Edi bersama guru-guru adalah mengobservasi anak, dengan menganalisis perilaku terapan.
Ketika orang tua juga memahami anaknya, maka terapi Diet Elektronik bisa dijalankan. Di Yayasan Bina Insani, terapi yang dilakukan tidak kaku pada umumnya. Anak tetap digabungkan dalam bilik ruangan.
Di sana dua orang guru memantau anak bermain. Setelah siap bermain, anak baru diarahkan belajar di sebuah bilik ruangan lain dengan kapasitas maksimal 2 anak dan masing-masing 2 guru.
"Anak yang siap belajar itu yang emosional sudah tenang, dan dia sudah senang, nyaman, dengan situasinya," ujar Edi.
Para anak belajar dasar mewarnai, menggambar objek, menyusun benda puzzle geometri, dan menyusun objek sesuai warna. Aktivitas sederhana itu menjadi media untuk mengembalikan fokus, empati, dan rasa ingin tahu anak yang hilang karena terlalu lama hidup di dunia virtualnya.
(dai/dai)