Mahkamah Konstitusi memutuskan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Pilkada Pesawaran. Keputusan ini diberikan saat pemerintah pusat tengah melakukan efisiensi anggaran. Namun, apakah hak demokrasi warga bisa berjalan mulus di tengah kebijakan tersebut?
Seperti diketahui, MK memberikan tenggat waktu selama 90 hari untuk pelaksanaan PSU. Namun di saat rakyat menunggu kepastian PSU, pemerintah justru tengah menjalankan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.
"Efisiensi belanja negara itu penting, tetapi bagaimana jika efisiensi ini justru menghambat hak politik warga? PSU adalah amanah konstitusi, bukan sekadar belanja negara yang bisa dipotong semena-mena," tegas Rifandy Ritonga, akademisi Hukum Tata Negara Universitas Bandar Lampung (UBL).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan kebijakan pemangkasan belanja, menurut Rifandy, pencairan anggaran PSU terancam berjalan lambat dan penuh birokrasi. Jika tidak segera ditangani, maka jangan heran jika PSU justru menjadi korban efisiensi anggaran yang 'terlalu disiplin'.
Kata dia, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, pendanaan PSU seharusnya menjadi tanggung jawab APBD kabupaten/kota. Namun jika tidak mencukupi, APBD provinsi atau bahkan APBN harus turun tangan.
Ia menilai di tengah kebijakan efisiensi belanja yang ditekankan dalam Inpres 1/2025, dana PSU bisa terjepit di antara skema penghematan dan keterbatasan fiskal daerah.
"Kalau anggaran PSU dipangkas atau pencairannya diperlambat karena aturan efisiensi, maka jangan kaget kalau proses demokrasi kita juga ikut terhambat. Ini bukan soal uang semata, tetapi soal hak warga dalam memilih pemimpin yang sah," jelas Rifandy.
Rifandy menambahkan bahwa tanpa kebijakan fleksibel dalam pencairan dana PSU, pelaksanaan pemungutan suara ulang bisa terganggu atau bahkan tertunda.
"Kalau uang untuk PSU seret, siapa yang harus disalahkan? KPU? Pemda? Atau kebijakan efisiensi yang tidak memahami urgensi pemilu?"
Bawaslu : Pengawas atau Penonton?
Sementara itu, Bawaslu RI diperintahkan MK untuk mengawasi PSU, termasuk memastikan anggaran digunakan secara efisien dan tidak disalahgunakan.
Namun, dengan aturan efisiensi belanja negara yang ketat, apakah Bawaslu bisa benar-benar berfungsi atau hanya jadi penonton ketika pencairan anggaran PSU tersendat?
"Pengawasan tanpa anggaran yang cukup itu ibarat polisi tanpa bensin. Ada aturan, ada tugas, tapi tidak bisa bergerak. Kalau PSU harus diawasi, maka anggarannya juga harus tersedia tanpa hambatan birokrasi," ujar Rifandy.
Menurutnya, Bawaslu harus memastikan anggaran PSU digunakan sesuai kebutuhan, bukan untuk belanja yang tidak perlu, tetapi yang lebih penting. Bawaslu juga harus memastikan dana tersebut benar-benar bisa cair tepat waktu.
Rifandy menerangkan agar PSU di Kabupaten Pesawaran tetap berjalan tanpa hambatan, solusi konkret harus segera diambil. Ia menyampaikan ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh KPU dan Bawaslu.
Pertama, KPU Kabupaten segera memastikan anggaran PSU masuk dalam kategori belanja prioritas dalam APBD, sehingga tidak terkena dampak efisiensi berlebihan. Kedua, Bawaslu harus memastikan anggaran yang digunakan tidak hanya transparan, tetapi juga cepat dicairkan, bukan sekadar angka dalam laporan keuangan.
Ketiga, KPU RI dan Bawaslu RI harus melakukan supervisi aktif, bukan sekadar menunggu laporan dari daerah. Keempat, Pemerintah pusat harus memiliki skema pencairan cepat untuk PSU, karena pemilu bukan proyek yang bisa ditunda sesuka hati.
"Demokrasi itu mahal, tetapi tidak boleh dihitung-hitung seperti proyek biasa. Jika dana PSU tersendat, maka hak rakyat yang jadi korban. Dan jika ini terjadi, siapa yang akan bertanggung jawab?. Jika solusi ini tidak segera diterapkan, jangan heran jika PSU di Kabupaten Pesawaran berubah dari pemungutan suara ulang menjadi pemungutan suara tertunda," kata dia.
(dai/dai)