Kelahiran bayi kembar tiga dipercaya anugerah bagi masyarakat Bali. Momen kelahiran itu ditandai hujan berhari-hari sebagai bentuk anugerah dari Sang Pencipta.
Fenomena kepercayaan ini tersebar di berbagai media sosial dan diakui masyarakat Bali. Kelahiran kembar tiga pertama berjenis laki-laki di Gianyar dan kembar tiga kedua adalah perempuan di Bangli.
Kelahiran bayi kembar tiga pertama terjadi di Rumah Sakit Ari Canti, Ubud, Kabupaten Gianyar, Jumat (23/6). Bayi dari pasangan Kadek Wijana dan Febri Lestari asal Desa Bonjaka, Tegallalang, Gianyar, lahir pada pukul 12.29 Wita dengan cara operasi sesar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kelahiran bayi kembar kedua ada di Kabupaten Bangli, Kamis (6/7). Kasubag Hukum, Humas dan Pemasaran Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bangli Sang Kompyang Arie Sukma Wijaya mengatakan bayi kembar tiga dari pasangan Ni Wayan Arnita dan I Ketut Suandika, warga Desa Songan Kintamani lahir pada pukul 02.04 Wita.
Salah satu akun tiktok bernama Kadek mengaitkan kelahiran bayi kembar ini dengan fenomena alam dan kepercayaan tetua di Bali zaman dulu.
"Dari kepercayaan tetua saya, jika ada kelahiran aneh seperti kembar banyak, kembar buncing, akan disertai dengan hujan deras berhari-hari, itu sebagai tanda berkah bumi, dan benar saja di Gianyar ada lahir kembar cowok dan Bangli kembar cewek," kata I Kadek Mertayasa kepada detikBali, Minggu (8/7/2023).
Menurutnya masyarakat Bali masih kental dan percaya kata leluhur terdahulu. Sehingga, ia berharap keberkahan bagi bayi-bayi yang dilahirkan.
"Semoga anak-anak kembar yang dilahirkan ini diberikan restu oleh langit dan bumi dan selamat sentosa," ungkap dia.
Mengenai fenomena ini, penekun sastra lontar Bali Ida Bagus Putra Manik Aryana menjelaskan hingga saat ini belum ada sastra yang menyuratkan hal tersebut. Apalagi dikaitkan dengan hujan deras yang terus turun belakangan ini.
"Dulu, pada zaman kerajaan jika ada wangsa jaba melahirkan buncing (kembar laki-perempuan) maka disebut leteh dan akan ada musibah. Sedangkan jika Triwangsa punya kembar buncing disebut membawa berkah," kata Manik Aryana, yang juga dosen di Fakultas Bahasa dan Sastra Undiksha Singaraja ini.
Namun seiring perkembangan zaman, hal itu dianggap diskriminasi dan sudah dihapus oleh Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) pada 1970an.
(mud/mud)