Salah satu terdakwa kasus pabrik uang palsu di UIN Alauddin Makassar, Muhammad Syahruna mengaku ditekan saat diperiksa oleh penyidik kepolisian. Dia pun menilai berita acara pemeriksaan (BAP) tidak sah dan meminta dakwaan tim jaksa penuntut umum ditolak oleh majelis hakim.
Hal itu disampaikan Syahruna dalam nota keberatan atau eksepsi di Ruang Kartika, Pengadilan Negeri (PN) Sungguminasa, Gowa, Rabu (7/5/2025). Syahruna mengajukan 3 poin eksepsi terhadap dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
Pertama, dia menganggap surat dakwaan JPU yang dibuat berdasarkan BAP tersebut dianggap cacat hukum. Syahruna mengaku tidak didampingi oleh penasihat hukum selama 4 kali pemeriksaan polisi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penyidik atau pejabat yang memeriksa wajib memberitahukan hak tersangka dan menunjuk penasehat hukum baginya agar ia didampingi ketika diperiksa sesuai Pasal 56 ayat 1 KUHAP," ujar penasihat hukum terdakwa membacakan nota eksepsi.
"Bahwa terdakwa Muhammad Syahruna dalam proses penyidikan atau pada saat pemeriksaan yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan dalam rincian tanggal sebagai berikut: (1) pada Minggu, 8 Desember 2024; (2) Jumat, 13 Desember 2024; (3) Minggu, 15 Desember 2024; dan (4) Rabu, 18 Desember 2024, tidak didampingi kuasa hukum dan hal tersebut sangat bertentangan dengan pasal 56 ayat 1 KUHAP," sambungnya.
Terdakwa juga menganggap dakwaan tim penuntut umum berasal dari hasil BAP yang tidak sah tersebut. Selain itu, Syahruna juga mengaku mendapatkan tekanan dari polisi untuk mengakui perbuatan tersebut.
"(Dakwaan JPU) Sebagaimana pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, berawal pada hari, tanggal dan waktu yang sudah tidak dapat diingat secara pasti sekitar tahun 2023, saksi Annar Salahuddin Sampetoding membisiki terdakwa untuk belajar membuat uang rupiah palsu karena saksi Annar Salahudin akan maju ke Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan," kata penasihat hukum.
"Bahwa dakwaan jaksa penuntut umum di atas diambil dalam berita acara pemeriksaan yang tidak didampingi penasihat hukum. Dan terdakwa Syahruna menurut pengakuannya berada dalam tekanan dan dipaksa untuk mengakui hal tersebut dengan cara disiksa sehingga terdakwa Muhammad Syahruna akan mencabut keterangan yang diuraikan tersebut dalam BAP dan keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum," lanjutnya.
Kedua, penasihat hukum Syahruna merasa dakwaan JPU tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap pada poin uraian waktu perbuatan pidana dikerjakan. Dakwaan subsidair JPU juga dianggap hanya menyalin dari dakwaan primair.
"Uraian perbuatan dalam dakwaan kedua hanya menyalin ulang atau copy paste dari uraian dakwaan primair. Sedangkan tindak pidana yang didakwakan dalam masing-masing dakwaan tersebut secara prinsip berbeda satu dengan yang lainnya," jelasnya.
"Bahwa oleh karena penguraian tempus delicti yang ragu-ragu, tidak pasti, dan tidak jelas menjadikan konstruksi peristiwa yang tidak jelas pula, baik locus dan tempus atau jalannya yang peristiwa. Sehingga menjadikan dakwaan kabur dan tidak jelas dan sangat merugikan terdakwa dalam melakukan pembelaan diri," imbuh penasihat hukum.
Ketiga, penasihat hukum terdakwa menyebut PN Sungguminasa tidak memiliki wewenang untuk mengadili perkara terdakwa. Hal ini dikarenakan dakwaan JPU mengacu pada Pasal 84 ayat 2 KUHAP.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Pasal tersebut mengatur tentang PN dapat mengadili perkara di luar daerah hukumnya apabila tempat kediaman sebagian besar saksi lebih dekat dengan tempat pengadilan tersebut daripada tempat kedudukan pengadilan yang seharusnya berwenang. Sementara sebagian saksi pada kasus terdakwa Syahruna ini diketahui bertempat tinggal di Makassar.
"Bahwa atas tujuh saksi (pada kasus terdakwa Syahruna) hanya dua orang yang bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri Sungguminasa. Sedangkan lima orang saksi dan juga terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum Kota Makassar. Sehingga berdasarkan Pasal 84 ayat 2 KUHAP tersebut dalam surat dakwaan Muhammad Syahruna adalah keliru dan dipaksakan," ujarnya.
Selain itu, lanjut pihak terdakwa, dakwaan JPU juga menyatakan jika kejadian pembuatan uang palsu ini awalnya dikerjakan di Makassar. PN Sungguminasa dirasa tidak berwenang mengadili perkara uang palsu dengan terdakwa Syahruna.
"Uraian perbuatannya menunjukkan bahwa perbuatan pidana tersebut peristiwanya sebagian besar di Kota Makassar, serta terdakwa dan saksi sebagian besar pula bertempat di tinggal di Kota Makassar," ucapnya.
"Sehingga sangat jelas bahwa terdakwa tidak dapat diperhadapkan atau disidangkan serta Pengadilan Negeri Sungguminasa tidak berwenang mengadili pada Pengadilan Negeri Sungguminasa," sambungnya.
Setelah menyampaikan 3 poin eksepsinya, penasehat hukum terdakwa menyampaikan permohonan kepada majelis hakim. Di antaranya menerima eksepsi terdakwa, menolak dakwaan JPU, hingga mengembalikan hak terdakwa.
"Mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan sela dengan amar putusan sebagai berikut: (1) Menerima eksepsi tim penasehat hukum terdakwa Muhammad Syahruna untuk seluruhnya; (2) Menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum sebagaimana dalam surat dakwaan tidak dapat diterima; (3) Menyatakan Pengadilan Negeri Sungguminasa tidak berwenang memeriksa akan mengadili perkara yang dakwaan Jaksa Penuntut Umum sebagaimana dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum; (4) Menetapkan pemeriksaan perkara terhadap terdakwa Muhammad Syahruna tidak dapat dilanjutkan; (5) Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai orang yang tidak bersalah yang telah dicemarkan nama baiknya oleh adanya penuntutan jaksa penuntut umum ini; (6) Membebankan biaya perkara kepada negara," ucap penasihat hukum menutup pembacaan nota keberatannya.
Diketahui, Syahruna didakwa ikut memproduksi uang palsu di UIN Alauddin Makassar. Syahruna dikenakan Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan pada dakwaan subsidair, Syahruna dinilai melanggar Pasal 37 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Jaksa juga mendakwa Syahruna dengan Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP pada dakwaan lebih subsidair. Serta pada dakwaan lebih lebih subsidair, Syahruna dikenakan Pasal 36 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Simak Video "Video: 2 ASN Pemprov Sulbar Terlibat Kasus Sindikat Uang Palsu UIN Makassar"
[Gambas:Video 20detik]
(sar/hmw)