Polisi mengatakan ada upaya mediasi sebanyak 5 kali sebelum guru honorer bernama Supriyani di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra), ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan anak polisi. Namun mediasi yang dilakukan disebut tidak menemui titik terang.
"5 kali mediasi tidak ada kesepakatan antara tersangka dan keluarga korban," kata Kapolres AKBP Febry Syam dalam keterangannya, Senin (21/10/2024) malam.
Febry mengungkapkan mediasi pertama berlangsung di Polsek Baito, Jumat (26/4) yang dihadiri kedua belah pihak. Dalam mediasi tersebut, Supriyani tidak mengakui melakukan tindakan penganiayaan terhadap anak polisi itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mediasi pertama Supriyani tidak mengakui dan meminta pihak korban untuk membuktikan atas tindakan penganiayaan yang dilakukannya," bebernya.
Karena tak mengakuinya, kata Febry, keluarga korban lalu lanjut membuat laporan di Polsek Baito pada hari yang sama. Ia mengatakan polisi kembali memberi kesempatan untuk melakukan pertemuan sebelum penyidikan.
Febry menuturkan terjadi mediasi selanjutnya pada Senin (6/5) di kediaman pihak korban. Saat itu, Supriyani bersama suami dan Kepala Sekolah SDN 4 Baito menemui orang tua korban di rumahnya.
"Dari pertemuan tersebut, Supriyani mengakui perbuatannya yaitu memukul korban dan meminta maaf kepada orang tua korban, namun orang tua korban meminta waktu untuk bisa menerima dan memaafkan," ujar dia.
Mediasi kembali terjadi pada Mei 2024. Supriyani mendatangi rumah orang tua korban bersama kepala desa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak. Namun pertemuan lagi-lagi belum ada kesepakatan.
"Supriyani datang bersama kepala desa untuk membicarakan terkait permasalahan untuk bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Tapi tidak ada kesepakatan damai," ungkapnya.
Masih di bulan Mei, mediasi sempat terjadi selama dua hari dengan waktu berbeda. Lagi-lagi, kata Febry, mediasi berlangsung gagal. Ibu korban masih belum bisa menerima dan meminta waktu untuk mempertimbangkan perdamaian.
"Di bulan Juni ibu korban meminta kejelasan perkara agar segera ditindaklanjuti karena sudah berjalan 3 bulan," ungkap dia.
Polisi pun langsung mengumpulkan keterangan tambahan dan melakukan gelar perkara, Rabu (3/10). Usai gelar perkara, penyidik pun sepakat untuk menetapkan Supriyani sebagai tersangka dugaan penganiayaan.
"Rabu 3 Juli gelar perkara, penyidik sepakat menetapkan Supriyani sebagai tersangka," imbuhnya.
Kendati demikian, Febry mengatakan selama proses mediasi polisi tidak melakukan penahanan. Penahanan baru dilakukan oleh Kejaksaan setelah berkas perkara diserahkan.
"Selama pelaksanaan proses penyidikan, polisi tidak melakukan penahanan terhadap tersangka. Penahanan tersangka dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Andoolo sejak diserahkan oleh penyidik," tambahnya.
Diberitakan sebelumnya, Ketua PGRI Sultra Abdul Halim Momo sudah menemui Supriyani yang sedang mendekam di jeruji besi di Lapas Perempuan Kelas III Kendari, Senin (21/10) siang. Setelah berbincang panjang, Halim memastikan kasus tersebut merupakan kriminalisasi terhadap guru.
"Sebenarnya tidak bisa bertemu, tapi karena pertolongan Tuhan, saya bisa bertemu. Kasus ini ada kesan kriminalisasi dan pemerasan," ungkap Halim kepada wartawan, Senin (21/10).
Menurut dia, orang tua anak tersebut yang menjabat sebagai Kanit Intel Polsek Baito, tempat Supriyani dilaporkan, terlalu percaya dengan keterangan anaknya yang masih berusia 6 tahun saat itu. Padahal siswa dan guru di waktu itu telah membantah tidak ada penganiayaan kepada anaknya.
"Menurut saya, bapak anak ini (Aipda Wibowo Hasyim) terlalu percaya sama anaknya, mengatakan bahwa ibu Supriyani melakukan itu," ujarnya.
"Padahal murid dan guru bersaksi hari Rabu itu, hari yang memakai batik, tidak ada kejadian. Makanya aneh, saya tidak tahu kenapa bisa langsung di kejaksaan (ditahan)," tambahnya.
(asm/sar)