Kasus tewasnya mahasiswa baru bernama Virendy Marjefy (19) saat mengikuti Diksar Mapala Universitas Hasanuddin (Unhas) telah disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Maros. Dua senior korban, Muh. Ibrahim Fauzi dan Farhan Tahir didakwa bersalah terhadap kematian korban.
Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Eva Achjani Zulfa yang dihadirkan sebagai saksi ahli di persidangan menyebut kematian korban tidak terlepas dari kelalaian kedua terdakwa, yakni Muh. Ibrahim Fauzi sebagai Ketua Mapala Unhas, serta Farhan Tahir sebagai ketua panita diksar.
Awalnya Hakim Ketua Khairul menanyakan tentang langkah pencegahan yang semestinya dilakukan dua senior korban tersebut. Saat persidangan, Ahli berbicara soal konsel lalai dan kesengajaan, yang mana menurut Ahli, dua hal ini berbeda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lalai dan kesengajaan itu beda. Kalau lalai, orangnya mengetahui akibat, ia berusaha mencegah akibat, tetapi pencegahannya tidak cukup," ujar Eva di Ruang Cakra, PN Maros, Rabu (29/5/2024) siang.
Selanjutnya, Ahli juga menjelaskan konsep lalai dalam kasus ini. Menurutnya, Terdakwa semestinya mengetahui kondisi kesehatan korban sebagai peserta.
"Ia (Terdakwa) tahu korban tidak sehat, yang seharusnya dilakukan adalah mencegah. Yang terjadi adalah kondisi korban yang parah, bukannya menyuruh istirahat, tapi (Terdakwa) tidak melakukannya. Bukannya menghindari akibat, tapi mendekati akibat," tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ahli menjelaskan tentang konsep kesengajaan. Penjelasan Ahli tersebut merujuk pada sebuah analogi.
"Kalau kesengajaan itu yang menghampiri bahaya. Contoh, sopir yang sejak awal tahu remnya bermasalah. Bukannya tidak menggunakan mobil itu, tapi malah tetap mengangkut penumpang," kata ahli.
"Artinya apa? Sopir itu menghampiri bahaya. Itu dolus eventualis dalam bentuk filsafat kemungkinan," lanjut ahli.
Di akhir sidang, Jaksa Penuntut Umum bernama Ade Hartanto Isman menjelaskan kronologi korban yang sakit saat Diksar Mapala. Awalnya, korban tidak sadar sehingga dievakuasi.
"Ini kan ceritanya, Kamis (12/1/2023) korban drop dan tidak sadar, korban lalu dievakuasi di kamp selanjutnya. Di situ (korban) istirahat, makan dan minum," ujar jaksa.
Setelah korban istirahat, kata jaksa, Terdakwa menganggap korban sudah membaik karena melihat korban beraktivitas. Oleh karena itu, seniornya melanjutkan kembali kegiatan diksar tersebut.
"Ada kegiatan evaluasi lagi yang mana di situ menurut Terdakwa, korban sehat kembali, dia liat sudah bisa lari, itulah alasan terdakwa lanjutkan kegiatan. Ternyata besoknya (korban) kolaps lagi. Dia tidak ada kompetensi medis sehingga dia anggap korban sudah sehat," lanjutnya.
Untuk diketahui, Virendy Marjefy meninggal dunia saat mengikuti Diksar Mapala di Kabupaten Maros pada Jumat (13/1/2023). Belakangan, keluarga korban curiga atas kematian Virendy hingga makamnya dibongkar pada Kamis (26/1/2023).
Saat itu makam Virendy dibongkar untuk keperluan autopsi atas permintaan keluarga. Dari hasil autopsi, korban meninggal akibat mengalami pendarahan pada jantungnya. Selain itu ada penyumbatan aliran darah ke jantung korban.
(hmw/ata)