Direktur Utama (Dirut) Bank Arfindo berinisial NAC di Papua Barat melaporkan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 345,8 miliar ke polisi. Belakangan, NAC justru ditetapkan sebagai tersangka karena ditemukan aliran dana yang juga mengalir ke dirinya.
Wadirkrimum Polda Papua Barat AKBP Robertus A Pandiangan mengatakan NAC melaporkan kasus TPPU di Bank Arfindo setelah diangkat sebagai Dirut. NAC melaporkan adanya kredit macet di Bank Arfindo pada Senin (19/6) lalu.
"Yang laporkan itu NAC usai diangkat sebagai direktur utama. Tapi, dia juga menjadi tersangka sebab kami menemukan ada aliran dana yang kami telusuri itu mengalir kepada yang bersangkutan," kata AKBP Robertus kepada detikcom, Selasa (3/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Robertus mengatakan kasus ini dilaporkan ke polisi dari hasil audit tim internal Arfindo mulai tahun 2012 hingga 2022 yang menemukan kerugian sebesar Rp 345,8 miliar. Atas dasar tersebut, NAC membuat laporan ke polisi agar dilakukan penyelidikan.
"Arfindo itu melaporkan adanya kerugian di dalam Arfindo itu setelah dilakukan audit dari tim internal itu sebesar Rp 345,8 miliar. Atas dasar itu mereka membuat laporan polisi untuk mencari apa permasalahan yang terjadi di Arfindo itu," ujarnya.
Polisi kemudian memeriksa 30 saksi dan menetapkan 12 orang tersangka dalam kasus ini pada Rabu (16/8). Salah satu tersangka adalah NAC karena diduga menerima aliran dana saat masih menjabat komisaris Bank Arfindo.
"Saksi yang diperiksa sebanyak 30-an orang dan barang bukti yang kami sita itu sudah beberapa yang mengembalikan uang dan sudah kami sita untuk dijadikan barang bukti dan ada juga dokumen terkait kejahatan yang dilakukan," papar Robertus.
12 Tersangka Belum Ditahan
Selain NAC, polisi juga menetapkan mantan Direktur Umum Bank Arfindo inisial PN sebagai tersangka. Kemudian AK (Kepala Cabang Arfindo Sorong Kota), SRA (staf Bank Arfindo). Kemudian, FL (supervisor Bank Arfindo Cabang Sorong), IP (staf Bank Arfindo), LS (mantan Kepala Cabang Arfindo Sorong), SS (pimpinan BPR Arfindo Cabang Fakfak), dan HS (Direktur PT PSMS).
Kemudian dua nasabah juga ditetapkan tersangka yakni inisial SDE (Direktur PT JMP) dan LW (Direktur CV. RF). Robertus menyebut 12 tersangka tersebut belum dilakukan penahanan.
"12 tersangka belum dilakukan penahanan karena penyelidikan yang kita lakukan masih menelusuri dan bisa saja adanya potensi tersangka baru dan itu bisa saja karena masih kami telusuri dan butuh waktu," ucapnya.
Penyidik akan meminta keterangan dari ahli perbankan hingga OJK terkait kasus ini. Hal ini dilakukan karena Bank Arfindo merupakan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) milik swasta.
"Maka kami lengkapi dulu itu dan kita akan meminta keterangan ahli perbankan, TPPU, OJK dan akan kita lakukan upaya. Ini penggelapan dalam jabatan yang ada di dalam Bank Arfindo. Karena Bank Arfindo ini operasi BPR milik swasta," tambah Robertus.
Simak di halaman selanjutnya...
Modus Operandi 12 Tersangka
Robertus mengungkap dalam kasus ini pihak bank memberikan kredit kepada nasabah atau pihak luar tidak sesuai dengan SOP. Kebijakan tersebut mengakibatkan kerugian sebesar Rp 345,8 miliar.
"Modus operandinya ini mereka dari pihak luar bekerja sama dengan orang dalam (Bank Arfindo) dalam hal ini direksi," katanya.
Robertus menyebut kebijakan tersebut melibatkan jajaran direksi Bank Arfindo. Bahkan kebijakan tersebut atas perintah PN yang saat itu menjabat sebagai Direktur Umum Bank Arfindo.
"(Direksi) yakni direktur operasional hingga kepala cabang untuk pengajuan PK (permohonan kredit) yang tidak dilakukan sesuai dengan SOP atau tidak ada agunan yang diikat. Dan semua ini atas sepengetahuan, persetujuan dan atas perintah dari dewan direksi yakni PN dan JI," ungkap Robertus.
Akibat perbuatannya, para tersangka dikenakan pasal 2 ayat 1 huruf B dan I, pasal 3 dan pasal 4 serta pasal 5 UU nomor 8 tahun 2010 tentang TPPU. Kemudian pasal 49 ayat 1 dan 2 juncto pasal 14 UU nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan pasal 374 juncto 55 ayat 1 ke 1 dan pasal 56 KUHPidana.