Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat merekomendasikan pencopotan terhadap oknum jaksa inisial U dan pegawai tata usaha (TU) inisial BH dari jabatannya. Keduanya diduga menerima suap dari keluarga terdakwa kasus pencabulan anak.
"Jaksa U dan TU inisial BH ini direkomendasikan dicopot dari jabatan. Kami sudah periksa dan membuat laporannya dan kita sudah teruskan ke Kejaksaan Agung, nanti Kejaksaan Agung yang akan turun lagi untuk keputusan finalnya," kata Asisten Pengawasan Kejaksaan Tinggi Papua Barat Imam S. Sidabutar kepada detikcom, Selasa (1/8/2023).
Imam menjelaskan, perkara ini mencuat pada akhir Juni 2023. Awalnya pihak keluarga terdakwa membuat sebuah video hingga viral di Tiktok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keluarga terdakwa terang-terangan mengaku diperas oleh dua oknum jaksa dan pegawai. Serta juga mendapat tindakan kekerasan berupa pelemparan botol air mineral.
Mengetahui video viral tersebut, Kejati Papua Barat melalui bidang pengawasan melakukan pemeriksaan terhadap dua oknum jaksa berinisial A dan U serta pegawai tata usaha berinisial BH. Usut punya usut, pihak keluarga terdakwa yang awalnya meminta bantuan agar terdakwa diputus hukuman yang ringan.
"Sebenarnya, awalnya dari pihak keluarga ada ketemu dengan seorang tata usaha inisial BH yang bertugas di Kejati Papua Barat, minta tolong supaya dibantu meringankan utang dan hukuman terhadap keluarganya yang terdakwa dalam kasus pencabulan anak. Kemudian, BH cobalah bantu dan ada transferan senilai Rp 65 juta ke rekening keponakan dari BH," jelasnya.
Imam melanjutkan, BH kemudian menghubungi dua jaksa penuntut umum yang menangani perkara tersebut yakni jaksa inisial U dan jaksa A. Namun jaksa A menolak untuk membantu sedangkan jaksa U menerimanya. Belakangan hakim memutuskan hukuman yang berbeda dari permintaan keluarga.
"Jaksa U ini juga yang menghubungi hakim, dia juga yang menyidangkan dan sampai putus. Namun putusan hakim ternyata tidak sejalan dengan permintaan keluarga," ujarnya.
Karena putusan hakim tidak sesuai permintaan keluarga. Mereka berinisiatif melakukan pengembalian uang tersebut kepada keluarga. Namun, terjadi percekcokan hingga akhirnya Jaksa A mengambil botol air mineral dan melemparkan ke atas meja.
"Jadi, saat mereka (jaksa U dan tata usaha inisialnya BH) ini mau kembalikan uang tersebut, jaksa A ini justru hadir di situ, dan saat itu keluarga terdakwa ini suaranya tinggi-tinggi sehingga akhirnya jaksa A tersinggung lalu mengangkat botol mineral yang ada di atas meja lalu membantingkannya ke atas meja itu," ungkapnya.
Menurut Imam, seharusnya jaksa A tidak perlu melakukan hal tersebut. Sehingga, meski tidak ikut menerima suap, jaksa A turut diberikan sanksi.
"Itulah pelanggaran etikanya atau arogansinya di situ sehingga tetap juga kami proses dia sesuai hukuman disiplin yang berlaku dan diberi hukuman ringan. Saya pikir untuk apa dia hadir di situ, dia tidak ada komunikasi dengan keluarga terdakwa, tidak menyidangkan juga," imbuhnya.
Sementara jaksa U dan pegawai tata usaha BH direkomendasikan hukuman disiplin berat atau pencopotan dari jabatan. Karena keduanya yang menerima uang, tawar menawar dan jaksa U yang menyidangkan.
Imam menilai kasus tersebut dapat menjadi contoh bagi para jaksa maupun pegawai Kejati Papua Barat, agar ke depannya bekerja sesuai dengan SOP dan memperhatikan kedisiplinan.
"Saya mengimbau kepada para jaksa penuntut umum dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan SOP yang ada dan juga harus memperhatikan kedisiplinan dan tidak terpancing dengan isu-isu ataupun kegiatan yang menyebabkan kericuhan," tutupnya.
(ata/nvl)