Adik Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, Haris Yasin Limpo membacakan nota keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan korupsi PDAM Makasar Rp 20 miliar. Haris menyindir kerugian negara di kasus ini hanya asumsi jaksa penuntut umum.
Hal itu diungkap Haris YL dalam sidang eksepsi yang dijalani hari ini di Ruang Harifin Tumpa, Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Senin (22/5/2023). Haris mengatakan kerugian negara di kasus PDAM Makassar kabur alias hanya bersifat asumsi.
"Surat dakwaan penuntut umum tidak menyatakan dengan pasti berapa jumlah kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatan terdakwa. Dengan demikian kekaburan jumlah kerugian terdakwa tersebut hanya bersifat asumsi yang tidak dapat dibenarkan dalam konteks kerugian," ujar Haris saat membacakan eksepsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Haris menjelaskan total kerugian negara sekitar Rp 20,3 miliar itu sudah termasuk kerugian pengusulan asuransi dwiguna jabatan Rp 1.123.619.868 atau sekitar Rp 1,1 miliar. Terdakwa menegaskan dirinya tak pernah mengusulkan asuransi dwiguna tersebut selama ia menjabat.
"Maka jumlah kerugian keuangan negara dalam dakwaan tersebut pembayaran tantiem dan bonus/jasprod adalah sebesar Rp 19.194.992.107 (sekitar Rp 19,1 miliar)," kata Haris.
Dari kerugian negara yang seharusnya hanya sekitar Rp 19,1 miliar tersebut, terdakwa lagi-lagi mengaku tidak semua pengusulan bonus dilakukan oleh dirinya.
"Terdakwa hanya melaksanakan pengusulan atau permohonan pembagian laba in casu dana tantiem dan bonus jasprod pada pembagian tantiem dan bonus untuk periode tahun 2017," katanya.
Lebih lanjut, terdakwa merincikan bahwa pihaknya hanya mengusulkan pembayaran tantiem 2017 dengan nilai sekitar Rp 3,9 miliar, pembayaran jasa produksi sekitar Rp 7,4 miliar.
"Sehingga terdapat selisih Rp 7.852.713.215 miliar (selisih sekitar Rp 7,4 miliar kerugian negara) yang didakwakan kepada terdakwa, namun faktualnya bukan lah perbuatan terdakwa," ungkapnya.
Terdakwa Ungkap Ada Jebakan Gratifikasi
Dalam eksepsinya, Haris juga mengungkap adanya jebakan gratifikasi saat oknum auditor BPK RI melakukan audit pada 2018 silam. Namun dia mengaku dirinya dan jajaran Direksi PDAM Makassar enggan terjebak saat itu.
Haris mengatakan auditor BPK yang melakukan audit pada 2018 silam adalah Wahid Ikhsan Wahyuddin. Haris dan sejumlah rekannya mengaudit pembayaran dividen, tantiem, bonus pegawai hingga penggunaan kas PDAM Makassar untuk pembayaran dana pensiunan pegawai.
Menurut Haris, dia yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PDAM Makassar mengaku terlibat perbedaan pendapat dengan auditor BPK Wahid, termasuk soal kedudukan hukum PDAM Makassar. Haris mengatakan saat itu dia menjelaskan kepada Wahid dan timnya bahwa PDAM Makassar saat itu belum berbentuk perusahaan umum daerah.
"Namun Wahid dan kawan-kawan justru menanggapinya secara lisan dengan berucap kata-kata aneh 'tidak masalah kalau Direksi PDAM mau mengerti'," ujar Haris.
Haris mengaku jajaran Direksi PDAM Makassar saat itu menilai pernyataan Wahid saat itu aneh. Dia juga menilai pernyataan itu sebagai jebakan agar direksi melakukan gratifikasi.
"Kata-kata itu dianggap aneh bisa saja diartikan jebakan untuk melakukan gratifikasi, maka Direksi PDAM tidak menanggapinya lebih lanjut," katanya.
Dakwaan Jaksa Terhadap Haris YL dan Irawan Abadi
Jaksa mendakwa Haris dan Irawan Abadi melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 20.318.611.975.
"Telah melakukan perbuatan secara melawan hukum yaitu mengusulkan pembagian laba yang kemudian membayarkan tantiem dan bonus/jasa produksi serta pembayaran asuransi dwiguna jabatan Walikota dan Wakil Walikota," demikian dakwaan jaksa penuntut umum di persidangan, Senin (15/5).
Jaksa mendakwa Haris dan Irawan telah melakukan perbuatan tersebut secara berturut-turut setidaknya lebih dari satu kali.
Adapun tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa, yakni penggunaan dana PDAM Kota Makassar untuk pembayaran tantiem dan bonus atau jasa produksi tahun buku 2017 sampai dengan 2019.
"Dan Premi Asuransi Dwiguna Jabatan Walikota dan Wakil Walikota, Tahun 2016 sampai dengan 2018 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan," ujar jaksa.
(hmw/sar)