Pengacara Tegaskan Kasus Lukas Enembe Harus Pakai Hukum Adat, Bukan KUHP

Pengacara Tegaskan Kasus Lukas Enembe Harus Pakai Hukum Adat, Bukan KUHP

Andi Nur Isman - detikSulsel
Rabu, 12 Okt 2022 12:20 WIB
Gubernur Papua Lukas Enembe, memenuhi panggilan kepolisian terkait dugaan korupsi pada pengelolaan APBD Papua 2014-2016, Senin (4/8/2017). Lukas dimintai keterangan sebagai saksi.
Foto: Gubernur Papua Lukas Enembe. (Grandyos Zafna/detikcom)
Jayapura -

Kuasa Hukum Gubernur Papua Lukas Enembe, Alloysius Renwarin menegaskan kasus dugaan suap dan gratifikasi kliennya harus diselesaikan secara hukum adat, bukan lewat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Alasannya, hukum adat di Papua masih sangat kuat.

"Ini kan permintaan dari keluarga dan masyarakat adat. Pak Lukas ditetapkan sebagai kepala suku besar dan mereka sudah mengambil alih persoalan Pak Lukas ke para-para adat," ujar Alloysius kepada wartawan di Jayapura, Papua, Rabu (12/10/2022).

Menurutnya, penerapan hukum adat dalam kasus Lukas Enembe ini mempunyai mekanisme tersendiri dari para pemangku adat. Namun demikian, dia tidak menjelaskan lebih rinci mengenai mekanisme tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pasti ada mekanisme adat untuk menyelesaikan kasusnya bapak gubernur Bapak Lukas Enembe," kata dia.

Alloysius kemudian menjelaskan terkait pemberlakuan hukum positif dalam kasus Lukas Enembe. Menurutnya, penetapan tersangka Gubernur Papua oleh KPK tidak sesuai aturan yang berlaku, sehingga dewan adat memilih untuk menggunakan hukum adat.

ADVERTISEMENT

"Ya ini dari dewan adat mereka lihat bahwa hukum positif dijalankan, kemarin gubernur ditetapkan sebagai tersangka kan tidak sesuai dengan KUHP. Sehingga mereka mengalihkan ini ke adat," ungkapnya.

Lebih lanjut Alloysius mengatakan hukum adat dan hukum positif sama-sama berperan di Indonesia. Termasuk di Papua, kata dia, peran hukum adat masih kuat.

"Ya sama-sama berperan di Indonesia ini. Hukum adat ini juga tetap berperan untuk menyelesaikan masalah di Indonesia. Termasuk di Papua masih kuat hukum adat, di Maluku pun masih kuat hukum adat. Jadi para-para adat akan menyelesaikan ini," katanya.

"Tetap kami akan dampingi hukum positif tetapi kami juga akan dampingi masalah yang diselesaikan di para-para adat," imbuhnya.

Istri-Anak Lukas Enembe Mangkir Panggilan KPK karena Urusan Adat

Sebelumnya, Alloysius juga sempat menyebut istri dan anak Lukas Enembe, Yulice Wenda dan Astract Bona Timoramo Enembe, menolak menghadiri pemeriksaan KPK sebagai saksi dugaan suap dan gratifikasi. Penolakan itu karena ada hukum adat Papua yang melarang keduanya.

"Ada kearifan lokal di Papua yang perlu diperhatikan oleh penyidik KPK untuk memanggil Yulice Wenda dan Astract Bona Timoramo Enembe sebagai saksi ke Jakarta," ujar Aloysius dalam keterangannya kepada wartawan di Jayapura, Senin (10/10).

Aloysius mengungkapkan Kepala Suku Lanny telah melarang Yulice Wenda dan Astract Bona Timoramo pergi ke Jakarta atau meninggalkan Tanah Papua. Hal ini karena keduanya harus menjaga Lukas yang sedang sakit.

"Karena mereka itu satu kesatuan, dengan Gubernur Papua Lukas Enembe, jadi tidak bisa dipisahkan," katanya.

Lebih lanjut, Aloysius bercerita bahwa berdasarkan adat budaya di Papua, jika terjadi peperangan, yang tidak bisa disentuh adalah anak, perempuan (istri), dan juga orang tua serta orang yang sedang sakit.

"Jadi secara adat di Papua, dengan memperhatikan kearifan lokal yang ada, terhadap istri dan anaknya, tidak dapat diganggu. Gubernur Papua sedang sakit, secara budaya harus dihargai. Terhadap Gubernur Papua harus diberikan akses untuk pemulihan kesehatan termasuk dibuka kembali rekening yang diblokir, supaya bisa dipakai untuk pengobatan," tegasnya.




(asm/nvl)

Hide Ads