Mayor Infanteri Purnawirawan Isak Sattu tak mengajukan nota keberatan atau eksepsi saat didakwa melakukan pelanggaran HAM berat di Kabupaten Paniai, Papua. Mantan perwira TNI AD tersebut menyatakan hal tersebut secara lisan melalui kuasa hukumnya.
Sidang pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua tersebut berlangsung di ruangan Bagir Manan Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Rabu (21/9/2022). Terdakwa dinyatakan melakukan pelanggaran HAM berat sehingga Ketua Majelis Hakim Sutisna Sawati mengarahkan terdakwa berkonsultasi dengan penasihat hukum.
Selanjutnya terdakwa Isak Sattu sempat menjawab majelis hakim terkait surat dakwaan. Menurutnya, dakwaan jaksa kurang tepat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Siap izin yang mulia saya tanggapi lisan. Bahwa dikatakan dalam dakwaan sistematik dan seakan sudah direncanakan. Padahal mendadak," kata Isak di persidangan.
Penjelasan terdakwa itu lantas dipotong oleh hakim dengan alasan jawaban tersebut sudah masuk dalam materi pokok perkara.
"Kalau soal itu, sudah masuk materi acara. Jadi nanti saudara diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan keterangan. Apa yang saudara ketahui, apa yang saudara lihat, apa yang saudara alami. Jadi eksepsi ini, mungkin sudah dijelaskan oleh penasihat hukum saudara kaitannya dengan formalitas surat dakwaan," ujar Sutisna membalas.
![]() |
Kemudian majelis hakim kembali mengalihkan pertanyaan kepada penasihat hukum terdakwa terkait surat dakwaan yang telah dibacakan Jaksa Penuntut Umum. Tim penasehat hukum terdakwa menyatakan tidak melakukan eksepsi.
"Tidak mengajukan yang mulia," ujar Syahril Cakkari, selaku ketua tim kuasa hukum terdakwa.
Simak dakwaan jaksa penuntut umum di halaman berikutnya...
Dakwaan Tim Jaksa Penuntut Umum Kejagung RI
Terdakwa Isak Sattu sebelumnya dinyatakan ikut terlibat atau membiarkan anggota Koramil 1705-02/Enarotali melakukan penembakan ke arah massa dan juga melakukan pengejaran serta penikaman dengan menggunakan sangkur di kawasan Pondok Natal Gunung Merah pada Senin 8 Desember 2014. Insiden ini diketahui menyebabkan 4 orang tewas.
"Padahal terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu yang mempunyai kewenangan secara efektif bertindak sebagai komandan militer dalam hubungannya dengan bawahannya tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasannya untuk mencegah atau menghentikan tindakan anggota yang melakukan penembakan dan kekerasan sehingga mengakibatkan 4 orang mati," ujar tim Jaksa Penuntut Umum yang dipimpin Erryl Prima Putra Agoes.
Oleh sebab itu, tim jaksa penuntut umum meyakini terdakwa Mayor Purnawirawan Isak Sattu melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," kata Jaksa Erryl.
Dirangkum detikSulsel, berikut rincian dakwaan jaksa penuntut umum dan ketentuan pidana terhadap terdakwa:
Pasal 42
Ayat 1
Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan
pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dan tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu :
Huruf A
komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
Huruf B
Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Pasal 7 Huruf B
Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 9 Huruf H
Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
Oleh sebab pelanggaran tersebut, terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 40 yakni:
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
Simak Video "Video PDIP Minta Kapolri Tanggung Jawab soal Ricuh Rekapitulasi Pilkada di Paniai"
[Gambas:Video 20detik]
(hmw/nvl)