Pindah rumah umumnya dilakukan dengan memindahkan barang-barang ke tempat yang baru. Namun, ada tradisi yang unik dalam masyarakat suku Bugis di Sulawesi Selatan (Sulsel), di mana pindah rumah dilakukan dengan memindahkan bangunan fisiknya.
Proses pindah rumah tersebut dikenal dengan tradisi Marakka Bola. Meskipun terdengar hampir mustahil, namun itulah keunikan dari tradisi Marakka Bola yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Keunikan dari tradisi ini bukan hanya terletak pada proses memindahkan rumah secara fisik, tetapi juga mencerminkan semangat gotong royong yang menjadi nilai penting dalam kehidupan sosial suku Bugis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan Tradisi ini telah diakui sebagai Warisan Tak Benda Provinsi Sulawesi Selatan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) pada tahun 2021.
Asal Usul Tradisi Marakka Bola
Istilah Marakka Bola berasal dari bahasa Bugis yang terdiri dari dua kata, yaitu marakka yang dalam bahasa Indonesia berarti mengangkat, sementara bola berarti rumah. Marakka Bola adalah pemindahan rumah secara utuh ke tempat yang telah ditetapkan oleh pemilik rumah dan dalam pengangkatan rumah ini dibutuhkan banyak orang agar mampu mengangkatnya.[1]
Tradisi ini telah dilakukan sejak zaman nenek moyang suku Bugis.[1] Jika ditelisik lebih dalam, tradisi ini memiliki keterkaitan dengan karakteristik rumah adat suku Bugis.
Seperti diketahui, rumah tradisional suku Bugis berbentuk rumah panggung yang menggunakan kayu sebagai bahan materialnya. Hal itu dikarenakan letak geografis pulau Sulawesi berada di pesisir laut dan diapit pegunungan yang berhutan.
Oleh karena itu, mereka membangun rumah yang tinggi untuk mengantisipasi bahaya seperti banjir atau kedatangan hewan liar. Dengan desain ini, masyarakat suku Bugis juga dapat dengan mudah memindahkan rumah mereka ke lokasi lain.[2]
Jadi, jika sang pemilik rumah ingin pindah ke tempat lain yang tidak begitu jauh, rumah itu cukup diangkat oleh warga kampung secara bergotong royong. Dari situ lah terbentuk tradisi Marakka Bola.
Tradisi Marakka Bola juga dilakukan apabila rumah tersebut dijual oleh pemiliknya dan lokasi berdirinya tidak ikut terjual, ataupun jika ingin dipindahkan ke tanah yang baru di beli atau di angkat ke tempat yang lebih ramai penduduk.[3]
Dengan cara diangkat, pekerjaan memindahkan rumah bisa berlangsung lebih cepat, lebih murah, dengan kemungkinan risiko kerusakan akibat membongkar yang lebih sedikit.[4]
Hal itu juga sejalan dengan keyakinan masyarakat Bugis bahwa rumah merupakan simbol tanah Ibu Pertiwi, sebuah warisan yang harus dijaga. Oleh karena itu, jika seseorang ingin pindah, rumah harus diangkat dan dipindahkan utuh ke tempat baru.[3]
Namun, pelaksanaan tradisi Marakka Bola tidak bisa dilakukan jika lokasi keduanya terlalu dekat ataupun terlalu jauh. Bukan hanya itu saja, tradisi Marakka Bola ini juga tidak dapat dilakukan jika tidak ada jalur yang memadai.
Hal itu disebabkan karena proses pengangkatan rumah memerlukan jalan yang cukup luas dan tidak mengganggu rumah-rumah tetangga.[1]
Proses Tradisi Marakka Bola
Sebelum rumah dipindahkan, pemilik rumah perlu membuat perencanaan yang dibahas bersama keluarga, dilanjutkan dengan musyawarah dengan perangkat pemerintah. Setelah waktu yang tepat ditentukan, pemilik rumah kemudian menyiapkan alat-alat yang diperlukan, seperti bambu, kayu, tali, serta peralatan seperti parang, gergaji, dan palu. [4]
Masuk dalam proses intinya, langkah awal yang dilakukan adalah mengeluarkan barang-barang yang mudah pecah dan bergerak, seperti piring, gelas, dan barang elektronik. Barang-barang berat, seperti lemari dan tempat tidur, biasanya tetap dibiarkan di dalam rumah. Untuk mencegah barang-barang tersebut jatuh, mereka diikat ke tiang-tiang rumah dengan kuat.[3]
Di sisi lain, sebagian orang lainnya juga mempersiapkan batang-batang bambu yang dipotong sesuai ukuran panjang dan lebar rumah. Bambu ini kemudian diikatkan ke tiang rumah untuk menstabilkan struktur rumah dari goncangan dan menjadi sandaran saat rumah diangkat.
Sebelum proses pengangkatan, masyarakat akan terlebih dahulu berdoa yang dipimpin oleh imam kampung yang bertujuan agar proses pemindahan berjalan lancar. Setelah semuanya siap, masyarakat khususnya para laki-laki berkumpul di bawah rumah, dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat.
Dengan aba-aba dari tokoh tersebut, mereka mulai mengangkat rumah, dan biasanya ada teriakan semangat dari masyarakat untuk mendorong mereka yang sedang mengangkat. Rumah diangkat secara bertahap hingga mencapai lokasi yang telah ditentukan.[4]
Saat para lelaki mengangkat rumah, para ibu dan anggota keluarga lainnya sibuk menyiapkan makanan dengan bantuan tetangga. Itu merupakan bentuk ucapan syukur keluarga karena sudah membantu dan juga rumah berhasil dipindahkan dengan aman.
Tak jarang, bagian dasar rumah digunakan sebagai tempat memasak. Setelah proses pengangkatan selesai, maka para pengangkat akan kembali ke tempat awal untuk menikmati hidangan yang disiapkan oleh para wanita.
Dalam tradisi Marakka Bola ini, tidak ada makanan khusus yang disiapkan. Biasanya hidangan yang disajikan adalah makanan ringan, seperti bella lawo/utti (kolak), karena jumlah peserta yang banyak membuat tidak memungkinkan untuk menyajikan makanan berat. [1]
Waktu Pelaksanaan Marakka Bola
Tradisi biasanya memiliki waktu sakral yang sudah ditentukan secara tetap, contohnya tradisi Mappalili yang dilakukan ketika masuk musim padi. Untuk tradisi Marakka Bola sendiri, tidak ada waktu pasti yang ditetapkan untuk melaksanakannya.
Waktu pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kesepakatan keluarga maupun dengan masyarakat sekitar. Akan tetapi, tradisi Marakka Bola ini biasanya dilakukan pada hari Jumat.
Sebab, pada hari tersebut masyarakat sekitar berkumpul di masjid untuk melaksanakan salat Jumat dan juga hari Jumat dianggap sebagai hari yang baik. Jadi, sebelum membubarkan diri, diberitahukan kepada masyarakat untuk bersama-sama membantu Marakka Bola dengan suka rela.[3]
Makna dan Nilai Gotong Royong dalam Tradisi Marakka Bola
Tradisi Marakka Bola memiliki makna dan nilai yang didapatkan dalam pelaksanaanya, salah satunya adalah nilai budaya. Di mana, masyarakat Bugis masih melestarikan kepercayaan yang diwariskan oleh leluhurnya akan makna dari sebuah rumah.
Selain itu, tradisi Marakka Bola ini juga mengandung nilai-nilai sosial yang mencerminkan kehidupan sosial suku Bugis, di antaranya:
Gotong Royong
Gotong Royong menjadi nilai utama dari dari budaya Marakka Bola. Pasalnya dalam prosesnya, kerja sama antarwarga sangat diperlukan, baik saat mengangkat maupun memindahkan rumah.
Meskipun biasanya laki-laki yang bertugas mengangkat rumah, perempuan juga berkontribusi dengan menyiapkan makanan setelah mereka bekerja. Jika hanya mengandalkan pemilik rumah, proses ini akan sulit dilakukan.
Namun, berkat kebersamaan dan kekeluargaan di antara masyarakat setempat, pengangkatan rumah dapat terlaksana. Ini juga menunjukkan bahwa pekerjaan berat akan terasa ringan jika dilakukan dengan gotong royong. [1]
Kegigihan dan Kesabaran
Tradisi ini juga mengandung nilai kegigihan dan kesabaran, yang terlihat dari usaha keras masyarakat saat mengangkat rumah ke lokasi yang dituju. Kegigihan menunjukkan tekad mereka untuk menyelesaikan tugas, sementara kesabaran membantu mereka menghadapi tantangan yang mungkin muncul selama proses tersebut.
Dengan semangat kegigihan dan kesabaran, masyarakat dapat bekerja sama dan menyelesaikan pengangkatan rumah dengan baik. Sehingga menciptakan suasana yang harmonis dalam prosesnya.[4]
Kerendahan Hati
Selain itu, kerendahan hati memperkuat rasa kekeluargaan dalam tradisi ini. Kerendahan hati berarti bahwa orang-orang yang ikut membantu tidak memperhatikan status sosial satu sama lain.
Dengan sikap ini, semua anggota masyarakat dapat bekerja sama tanpa adanya perbedaan, sehingga hubungan antarwarga semakin erat dan harmonis.[4]
Nah itulah ulasan mengenai tradisi Marakka Bola yang masih dilestarikan oleh masyarakat Bugis di Sulsel.
Referensi:
[1] Jurnal Universitas Negeri Makassar, Nilai Kekerabatan Dalam Tradisi Marakka Bola Di Barru Sebagai Warisan Budaya
[2] Jurnal Universitas Negeri Malang, Konsep Desain Bangunan Rumah Tradisional Suku Bugis (Studi Kritik Arsitektur)
[3] Laman Pusat Data dan Teknologi Informasi yang merupakan unit organisasi (Pusdatin) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
[4] Jurnal Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Makna Tradisi "Masoppo Bola" Pada Masyarakat Bugis Di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone
(urw/urw)