Suku Bugis merupakan kelompok etnik yang bermukim di wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel). Suku ini memiliki ragam kebudayaan yang cukup menarik, salah satunya dapat dilihat dari rumah adatnya.
Mengutip dari Buku Arsitektur Benteng dan Rumah Adat di Sulawesi yang diterbitkan oleh Badan Bahasa Kemdikbud RI, rumah adat suku Bugis dibedakan menjadi 2 jenis tergantung pada status sosial penghuninya, yaitu Saoraja dan Bola. Rumah Saoraja ditempati oleh keturunan raja, sementara Rumah Bola ditempati oleh rakyat biasa.(1)
Sejarah Rumah Adat Suku Bugis
Suku Bugis, dengan populasi 41,9% di Sulawesi Selatan tak hanya terpusat di satu wilayah. Mereka tersebar di berbagai daerah di Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, dan bahkan hingga Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun tersebar di berbagai penjuru wilayah, sejumlah kelompok masyarakat suku Bugis masih mempertahankan bentuk rumah adat sebagai tempat tinggal.(1) Bahkan tak jarang mereka yang merantau ke luar daerah masih mempertahankan bentuk dan makna rumah adat suku Bugis.
Seperti yang terjadi di Dusun Batu Lawang Desa Kemojan di Karimunjawa.(2) Masyarakat Bugis yang tinggal di wilayah tersebut bahkan membangun rumah adat suku Bugis di tempat perantauan mereka demi menjaga kebudayaan warisan nenek moyang.(5)
Mengutip dari jurnal Unira Malang yang berjudul Konsep Desain Bangunan Rumah Tradisional Suku Bugis (Studi Kritik Arsitektur), rumah bagi masyarakat suku Bugis bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga ruang awal mula kehidupan, tempat manusia lahir, berkembang, hingga meninggal. Oleh karena itu, pembangunan rumah Bugis harus dilandaskan pada tradisi dan kepercayaan leluhur yang diwariskan turun-temurun.(2)
Rumah adat suku Bugis pada mulanya rumah yang tanpa paku atau besi sebagai penahan. Di masa lampau, masyarakat Bugis masih terkendala oleh keterbatasan alat pertukangan.
Alat-alat seperti mata bor manual, gergaji, pahat, dan parang menjadi satu-satunya perlengkapan yang mereka miliki. Alat itu pun mereka dapatkan melalui sistem barter dengan para pedagang Bugis singgah.
Dulu, masyarakat suku Bugis menggunakan kayu panjang tanpa sambungan pada rumahnya yang berfungsi untuk meredam getaran gempa.(1)
Desain arsitekturnya pun mencerminkan sejarah Kerajaan Bugis, dengan gaya yang terinspirasi dari Istana Saoraja di Bone. Istana ini umumnya menghadap ke laut, menunjukkan hubungan erat suku Bugis dengan laut.(2)
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, rumah ada suku Bugis terdiri dari dua jenis, yaitu Saoraja dan Bola. Kedua jenis rumah adat ini pada dasarnya memiliki bentuk yang serupa, hanya saja terdapat beberapa bagian yang menjadi pembeda antara keduanya, seperti jumlah tiang, ukuran, dsb.
Arsitektur Rumah Adat Bugis
Dilihat dari segi arsitekturnya, baik rumah adat Saoraja maupuan Bola memiliki desain arsitektur yang serupa. Namun, ada beberapa hal mendasar yang menjadi pembeda di antara keduanya.
Rumah adat Saoraja ditempati oleh keturunan raja atau kaum bangsawan (Anakkarung). Sedangkan, rumah adat Bola merupakan tempat tinggal bagi rakyat biasa. Selain itu, Saoraja memiliki struktur bangunan yang lebih besar dan megah dibandingkan dengan Bola.
Saoraja memiliki 40 sampai 48 tiang. Atap rumah ini berbentuk prisma. Rumah ini juga memiliki tutup bubungan (timpak laja) yang bertingkat-tingkat yaitu antara 3-5 tingkat.
Sementara itu, Bola memiliki 20 sampai 30 tiang. Atap rumah ini berbentuk prisma. Sedangkan tutup bubungan (timpak laja) pada rumah ini tidak bertingkat atau polos.(3)
Rumah adat Suku Bugis secara turun temurun memiliki model rumah panggung pile dwelling (dibangun di atas tiang). Proses pembuatan rumah adat suku Bugis menggunakan kayu sebagai bahan bakunya. Kayu diolah menjadi papan atau dinding, dan tiang penyangga yang kokoh.
Jarak antar tiang sekitar 2 meter dan tingginya mencapai 1-2 meter. Konsep desain yang didominasi kayu ini memberikan identitas yang khas pada rumah adat Suku Bugis.
Keunikan lainnya adalah kemudahan rumah untuk dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lain. Hal ini mendorong budaya gotong royong "mangngakka' bola" (mengangkat rumah) di kalangan masyarakat suku Bugis.(2)
Secara vertikal, struktur rumah adat Suku Bugis terbagi menjadi tiga ruangan. Setiap bagian memiliki fungsinya masing-masing.
Rakkeang atau Botting Langi (Ruangan Atas) digunakan untuk menyimpan bahan pangan, benda pusaka, dan sebagai tempat bagi anak perempuan yang belum menikah. Alle Bola atau Ale Kawa (Ruangan Tengah) terbagi menjadi ruang tidur, ruang tamu, ruang makan, dan dapur. Sementara itu, Awa Bola atau Awasao (Ruangan Bawah) difungsikan sebagai kandang ternak dan tempat penyimpanan alat-alat pertanian.
Sementara, secara horizontal rumah adat Suku Bugis terbagi dalam tiga ruangan, yaitu Lontang Risaliweng atau ruang depan berfungsi sebagai ruang bertamu, kamar tidur tamu, dan tempat musyawarah keluarga. Lontang Ritengnga atau ruang tengah berfungsi sebagai kamar tidur keluarga dan ruang makan. Terakhir, Lontang Rilaleng atau ruang belakang berfungsi sebagai kamar tidur orang-orang lanjut usia dan gadis remaja.(5)
Selain ruangan yang disebutkan di atas, rumah adat Suku Bugis memiliki ruangan tambahan. Lego-lego atau paladang sebagai sandaran tangga depan dan tempat bersantai. Tamping atau ruang samping dijadikan sebagai ruang tunggu. Terakhir, Annasuang sebagai ruang penyimpanan alat dapur.(6)
Makna Filosofis Rumah Adat Suku Bugis
Bentuk arsitektur pada rumah adat Suku Bugis mencerminkan kebudayaan Bugis itu sendiri. Masyarakat suku Bugis memiliki pandangan terhadap arsitektur rumah adat sebagai refleksi dari tingkatan alam yang dikenal dengan istilah makrokosmos.
Makrokosmos atau jagad raya terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu dunia atas, tengah, dan bawah. Suku Bugis memiliki falsafah hidup yang erat kaitannya dengan tingkatan alam.
Kepercayaan tersebut diwujudkan dengan menyembah tiga dewa yang mewakili setiap bagian ruangan di dalam rumah. Penyembahan terhadap Dewa Langit yang dilakukan di rakkeang, menyembah Dewa Malino yang dipercaya berada di alle bola yaitu badan rumah atau loteng yang dianggap sebagai tempat tertinggi dalam bagian rumah, yang ketiga adalah Dewa Uwae yang dianggap berada di awa bola atau kolong rumah.(2)
Nah, demikian ulasan mengenai rumah adat Suku Bugis. Semoga menambah wawasan ya, detikers!
Referensi:
1. Buku Arsitektur Benteng dan Rumah Adat di Sulawesi yang ditulis oleh Kasdar
2. Jurnal Universitas Islam Raden Rahmat Malang yang berjudul "Konsep Desain Bangunan Rumah Tradisional Suku Bugis (Studi Kritik Arsitektur)"
3. Laman Perpustakaan Digital Budaya Indonesia
4. Laman resmi Ditjen Kebudayaan Kemdikbud
5. Jurnal Universitas Diponegoro yang berjudul "Rumah Bugis sebagai Bentuk Pemertahanan Budaya Masyarakat Bugis di Desa Kemojan Karimunjawa"
6. Jurnal UIN Alauddin Makassar "Pengaruh Adat Terhadap Fasad Rumah Tradisional Bugis Bone"
(ata/hsr)