Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat beragam, termasuk dalam hal tarian tradisional di tiap provinsi telah yang memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing daerah. Salah satu daerah yang memiliki beragam tarian tradisional adalah Sulawesi Tenggara.
Selain terkenal dengan potensi sumber daya alamnya, Sulawesi Tenggara rupanya juga punya kekayaan budaya. Salah satunya melalui budaya dan tradisi tari-tarian yang beraneka ragam.
Tarian Tradisional Sulawesi Tenggara yang paling terkenal adalah Tarian Lulo, di mana puluhan orang saling bergandengan dan melakukan gerakan kaki yang khas. Tarian ini bahkan kerap muncul dan viral di media sosial khususnya Tiktok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya Tarian Lulo, ternyata masih banyak jenis tarian tradisional lain dari Sulawesi Tenggara yang juga menarik untuk diketahui. Dirangkum detikSulsel dari berbagai sumber, berikut 13 macam tari tradisional Sulawesi Tenggara beserta penjelasannya.
Yuk simak!
Tarian Tradisional Sulawesi Tenggara
1. Tari Umoara
Melansir dari laman resmi Warisan Budaya Takbenda Indonesia, Tari Umoara merupakan tarian yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Tarian ini memiliki arti mencoba atau coba-coba. Maksudnya yang dicoba adalah ketangkasan memainkan parang atau taawu.
Pada zaman kerajaan, tari ini ditampilkan saat mengiringi para prajurit kerajaan Mekongga dan Konawe saat pergi dan kembali dari medang perang. Kini, tarian tersebut hanya ditampilkan pada saat penyambutan tamu atau acara-acara penting.
Biasanya, tari ini ditampilkan oleh 2 sampai 3 orang laki-laki. Busana yang dikenakan oleh penari Umoara disesuaikan dengan pakaian prajurit di medan perang, seperti ikat kepala kain merah, baju tebal dari kulit, dan celana panjang setinggi lutut.
2. Tarian Balumpa
Tarian Balumpa merupakan tarian yang berasal dari Wakatobi, Sulawesi Tenggara, khususnya di daerah Binongko dan Buton. Tarian ini menceritakan sekelompok gadis yang tengah berdendang dan menari dengan hati gembira dan tulus.
Dalam pertunjukan, Tarian Balumpa biasanya diiringi musik tradisional gambus dan pengiring vokal. Lagu yang dibawakan untuk mengiringi tarian ini biasanya merupakan lagu daerah yang bertema keceriaan dan penyambutan.
Adapun kostum yang dikenakan oleh penari biasanya merupakan busana adat yang berlengan pendek dan kain panjang khas Sulawesi Tenggara. Tari Balumpa biasanya hanya ditampilkan oleh penari wanita yang terdiri dari 6 sampai 8 orang.
Tarian Balumpa biasanya ditampilkan pada saat penyambutan para tamu terhormat yang datang di daerah tersebut. Tarian ini menandakan bahwa warga menyambut tamu dengan penuh rasa syukur dan kebahagiaan.
Selain itu, tarian ini juga ditampilkan di berbagai acara dan pementasan. Hal ini sebagai bentuk upaya melestarikan dan memperkenalkannya kepada generasi muda dan masyarakat luas.
Agar lebih menarik, Tarian Balumpa pun dikembangkan dengan menambahkan berbagai kreasi dan variasi gerakan.
3. Tarian Mangaru
Tarian Mangaru ini adalah suatu tarian tradisional masyarakat Buton yang khas dengan menggunakan sebilah keris yang dimainkan oleh kedua tangan. Tarian ini dimainkan oleh dua orang laki-laki yang dianggap memiliki fisik dan batin yang kuat.
Pakaian yang digunakan para penari merupakan pakaian tradisional Wolio yang lengkap dengan kopiah. Tarian ini juga diiringi musik gendang.
4. Tarian Lariangi
Lariangi merupakan tarian tradisional yang berasal dari Kepulauan Wakatobi.
Menurut etimologi, Lariangi terdiri dari dua suku kata, "lari" dan "angi". "Lari" berarti menghias atau mengukir, sedangkan "Angi" berarti orang-orang yang berhias dengan berbagai ornamen untuk menyampaikan informasi dengan maksud memberikan nasehat ataupun sebagai media hiburan dengan gerakan tari dan nyanyian.
Diperkirakan tarian ini telah ada sejak Tahun 1634, tepatnya pada masa Kesultanan Buton. Dahulunya, Lariangi dimainkan di istana raja yang berfungsi sebagai media penerangan informasi kepada masyarakat luas.
Dalam pagelaran, Tari Lariangi sebenarnya mirip dengan Tarian Tayub di Jawa. Di mana Para penari perempuan memberikan selendang kepada para tamu pria. Para pria yang telah diberi selendang itupun wajib menari bersama dengan para perempuan ini. Tentu saja, mereka juga memberikan uang saweran kepada para penari.
Gerakan Tari Lariangi, sebelum dan sesudah selalu diiringi dengan perkataan "le...le...". Maksudnya, Tari Lariangi siap ditampilkan, begitu pun sebaliknya.
Pertunjukan Tari Lariangi berdurasi 10 menit. Sepuluh orang perempuan cantik menari dan bernyanyi. Tarian didominasi oleh gerakan duduk dan melingkar dengan mengibaskan lenso atau kipas.
5. Tari Kalegoa
Kalegoa adalah saputangan kebesaran gadis pingitan yang bentuknya segitiga dan dihiasi dengan hiasan khas daerah. Tarian ini menggambarkan suka duka gadis-gadis Buton di dalam melaksanakan suatu tradisi adat Posuo (pingitan).
Dalam pingitan ini mereka mendapat petuah-petuah dan nasihat-nasihat dari orang tua-tua untuk menjadi seorang gadis yang dewasa dan matang dalam berumah tangga.
Tarian Kalegoa diciptakan oleh La Ode Umuri Bolu. Tarian ini pernah dipentaskan pada tahun 1972 pada acara resepsi kenegaraan tanggal 17 Agustus 1972 di Istana Negara.
6. Tari Mondinggu
Tari Modinggu adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Tarian ini merupakan tarian rakyat Suku Tolaki yang menggambarkan suasana dan aktivitas masyarakat saat musim panen, terutama musim panen padi.
Tari Mondinggu biasanya ditampilkan oleh para penari pria maupun wanita dengan berpakaian layaknya para Petani pada zaman dahulu.
Tarian ini sangat dikenal di masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara dan sering ditampilkan di berbagai acara seperti pesta panen raya, penyambutan, perayaan hari besar, festival budaya, dan lain-lain.
7. Tari Mesambakai
Tari tradisional dari Sulawesi Tenggara lainnya ada Tari Mesambakai. Melansir dari laman resmi Dinas Pariwisata Sulawesi Tenggara, tari ini merupakan tarian adat dari Mekongga.
Biasanya, tarian ini dibawakan oleh sembilan penari yang terdiri dari tujuh penari wanita, satu penari laki-laki, dan satu penari anak laki-laki. Tarian tersebut diiringi dengan peralatan musik tradisional.
secara filosofis, Tari Adat Mekongga Mesambakai merupakan upacara syukuran penguatan dan pengukuhan kelahiran anak pertama.
Konon, tradisi ini telah dilaksanakan sejak abad ke-16 pada zaman pemerintahan Sangia Lamba-Lambasa. Kala itu ia menggelar tradisi Mesambakai untuk anaknya, Sangia Lomba-Lomba yang sejak lahir hingga umur dua tahun seluruh tubuhnya lemah bagaikan tak bertulang.
Suatu ketika, seorang dukun sakti keturunan Wasasi Wasabenggali bermimpi bahwa Putra Raja dapat kuat dan sehat kembali apabila diadakan upacara adat Mesambakai. Setelah mendengar penyampaian tersebut, maka Raja Lamba-Lambasa memerintahkan untuk menyiapkan segala bahan ramuan untuk keperluan prosesi adat Mesambakai.
Dengan gerakan-gerakan yang dinamis, dipadukan gerakan Lulo dan pencak, Tradisi Mesambakai diyakini dapat mengusir roh jahat yang mengganggu Putra Mahkota. Alhasil setelah acara Mesambakai dilaksanakan maka seketika tubuh Sangia Lombo-Lombo menjadi kuat dan sehat.
8. Tari Lulo Sangia
Sebelum memulai prosesi adat Mosehe Wonua, masyarakat akan mengawalinya dengan sebuah tarian adat. Oleh masyarakat, tari ini disebut Tari Lulo Sangia.
Tarian ini diperagakan oleh tujuh atau sembilan perempuan berpakaian adat. Di mana setiap gerakannya memiliki makna simbolik. Tarian ini juga diiringi dengan alat musik tradisional gong.
Dahulu, Tari Lulo Sangia ini digelar sebagai ekspresi untuk memohon kepada sang pencipta, agar para raja atau pemimpin diberikan kesehatan atau sembuh bila sedang dalam kondisi sakit.
Munculnya Tari Lulo Sangia ini, dimulai pada abad ke-16, era Raja atau Sangia Teporambe. Disebutkan, Sangia Teporambe dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Mekongga sempat mengalami sakit yang cukup lama dan tak seorangpun yang dapat menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
Suatu ketika seorang tabib kala itu bermimpi. Dalam mimpi tabib itu, Sangia Teporambe bakal lekas sembuh bila dimandikan dengan air laut dicampurkan air tawar dan beberapa ramuan yang diambil dari laut dan darat.
Mimpi tabib tersebut, kemudian diceritakan kepada seorang tetua kampung yang mendiami Puuehu bernama Wasasi Wasabenggali. Wasasi Wasabenggali, lalu melanjutkan pesan tabib itu kepada kerabat Raja Teporambe. Dengan petunjuk tersebut, raja siap untuk dimandikan.
Sebagai wujud rasa syukur rakyat Raja Teporambe mengekspresikan kegembiraan itu dengan Tari Lulo Sangia. Tarian ini dipentaskan selama tujuh hari berturut-turut.
9. Tarian Mondotambe
Mondotambe adalah tarian pertunjukan yang dilakukan pada saat penerimaan para tamu pada acara-acara yang dilaksanakan masyarakat Mekongga. Tarian tersebut dibawakan oleh gadis-gadis remaja sebagai tanda penerimaan yang tulus ikhlas, dan gembira.
Jumlah penari terdiri dari 2 laki-laki dan 6 sampai 12 perempuan. Penari laki-laki membawakan Tarian Umoara, sedangkan penari perempuan membawakan Tarian Mondotambe.
Variasi tarian terdiri dari 13 gerakan yang diakhiri tabur beras, yang dalam bahasa daerahnya disebut Mombekaliako O'woha.
Mondotambe adalah tarian penyambutan Suku Tolaki dalam menyambut para tamu yang datang berkunjung di daratan Sulawesi Tenggara. Sedangkan asal usul Tari Mondotambe adalah berawal dari Tari Umoara yang ditarikan kepada para ksatria pada zaman dahulu untuk menyambut raja atau prajurit yang telah pulang dari peperangan.
Selanjutnya seiring berkembangnya zaman, maka lahirlah tari Mondotambe yang ditarikan oleh putra-putri Suku Tolaki.
Saat ini tari Mondotambe telah ditetapkan oleh kementerian pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi sebagai Warisan Budaya Takbenda.
10. Tari Galangi
Tarian lain yang juga berasal dari Sulawesi Tenggara adalah Tari Galangi. Melansir laman resmi Pusat Data Kekayaan Intelektual Komunal Indonesia, tari ini berasal dari Kepulauan Buton Raya.
Tarian ini merupakan tari perang dalam Kesultanan atau Kerajaan Buton. Tari Galangi adalah bentuk ungkapan dan juga spontanitas gerakan dalam bentuk seni tari yang mewujudkan bagaimana pemakaian gala dalam menghadapi musuh.
Sedangkan pada waktu damai, tarian ini merupakan kelengkapan kebesaran, keagungan, dan juga kemuliaan Sultan. Tari Galangi dimainkan untuk mengiringi sultan ketika keluar istana di dalam suatu tugas ataupun untuk menyambut dan mengantar tamu kesultanan.
Tarian Galangi umumnya terdiri dari 11 kelompok. Setiap kelompok biasanya akan terdiri dari 7 orang.
Di zaman dahulu kelompok tersebut bertugas dalam mempertahankan kesultanan atau kerajaan jika ada serangan dari luar. Jika dalam keadaan aman, maka masing-masing kelompok tersebut memiliki tugas yang berbeda-beda.
Dalam pertunjukannya, para penari akan memakai busana Pakaian Sala Kaitela (Celana Puntung). Selain itu para penari juga akan membawa properti seperti Gala (Tombak), Tombi Makuni (Bendera Kuning), Tombi Male'i (Bendera Merah), dan Tamburu (Genderang).
11. Tarian Cungka
Tarian selanjutnya adalah Tari Cungka. Dikutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham, Tarian ini bahkan telah ada sejak sebelum datangnya agama di Desa Wabula, salah satu desa yang ditinggali Suku Cia-Cia.
Sebelum Tarian Cungka dimulai, mula-mula lagu tradisional Waitoni dinyanyikan terlebih dahulu tanpa diiringi tarian dan gendang. Kemudian tarian ini pun diiringi dengan alat musik tradisional seperti gong besar, gong kecil dan gendang.
Tarian ini merupakan tarian berpasang-pasangan dengan menggunakan selendang. Selanjutnya ditutup oleh tarian dari kedua mempelai pengantin bersama keluarga. Tarian kedua pengantin ini mempunyai arti proses yang menjadi insan manusia secara utuh.
Tarian Cungka bermakna perjalanan manusia dalam kandungan yaitu dari air menjadi segumpal darah, daging, dan tulang. Karena memiliki makna yang sangat tinggi, tarian ini harus ditarikan oleh pengantin.
12. Tarian Lumense
Melansir dari laman resmi Kemdikbud RI, Tarian Lumense merupakan tarian yang berasal dari Tokotu'a, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.
Tari ini memiliki arti yang diambil dari bahasa daerah setempat yakni kata "lume" yang berarti terbang dan "mense" yang berarti tinggi. Jadi Tarian Lumense dapat diartikan sebagai terbang tinggi.
Penari Tarian Lumense berjumlah 10 orang, yang terdiri dari 5 pria dan 5 wanita. Semuanya memiliki usia diatas 20 tahun.
Tari ini diiringi dengan instrument music gendang, gong besar (Mbololo) dan gong kecil (Ndengu-Ndengu).
Pakaian penarinya terdiri dari pakaian adat. Penari pria memakai baju berwarna hitam, kain sarung dan topi bambu khas daerah Moronene. Penari wanita memakai baju panjang berjumbai seperti ekor burung, kain sarung, kepala diikat dengan hiasan berumbai dan ikat pinggang.
Di masa lalu, Tari Lumense dilakukan dalam Ritual Pe-olia, yaitu ritual penyembahan kepada roh halus yang disebut Kowonuano (penguasa/pemilik negeri) dengan menyajikan aneka jenis makanan. Ritual ini dimaksudkan agar Kowonuano berkenan mengusir segala macam bencana.
Penutup dari ritual tersebut adalah penebasan pohon pisang. Tarian ini juga sering ditampilkan pada masa kekuasaan Kesultanan Buton.
13. Tari Lulo
Tari lulo merupakan salah satu tarian tradisional masyarakat Kendari. Tarian ini masih eksis meskipun telah mengalami pergeseran fungsi sebagai respon terhadap perubahan kebudayaan.
Pada awalnya, Tari Lulo merupakan ritual untuk memuja Dewi Padi terutama pada setelah musim panen.
Kata lulo sendiri berarti menginjak-injak onggokan padi untuk melepaskan bulir dari tangkainya. Dengan demikian, Tari Lulo merupakan ekspresi kebudayaan yang berdasarkan pada pertanian.
Namun seiring perkembangan zaman, Tari Lulo tidak lagi dimainkan sebagai ritual pesta panen, tetapi menjadi hiburan masyarakat Kendari dalam berbagai event sosial seperti perkawinan, ulang tahun, dan penyambutan tahun baru. Tarian ini bahkan saat ini menjadi viral di berbagai media sosial karena gerakannya yang unik.
Nah, itulah 13 tarian Sulawesi Tenggara beserta dengan penjelasannya. Semoga informasi ini semakin menambah wawasan kalian ya, detikers!
(edr/urw)