Suku Buton menarik perhatian sebagian orang usai Presiden Jokowi menggunakan pakaian adat Dolomani khas Buton saat menghadiri upacara HUT ke-77 RI di Istana Negara baru-baru ini. Baju adat Dolomani yang digunakan Jokowi merupakan baju adat khas suku Buton yang dibuat langsung oleh perajin lokal setempat.
Suku Buton merupakan kelompok etnis yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kepulauan Buton. Selain itu, masyarakat suku Buton juga tersebar di beberapa wilayah seperti Maluku Utara, Kalimantan, Riau, dan Papua.
Ibu kota Kepulauan Buton adalah Bau-bau. Jumlah penduduk di wilayah Kepulauan Buton mencapai 255.712 jiwa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, seperti apa sejarah dan kebudayaan, dan hal menarik dari Suku Buton? Berikut penjelasannya yang telah dirangkum oleh detikSulsel.
Sejarah Asal-Usul Suku Buton
Mengutip dari buku 'Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton' yang diterbitkan oleh Depdikbud RI, disebutkan bahwa nenek moyang penduduk Buton termasuk dalam ras Deutro Melayu. Penyebarannya dimulai dari daratan Asia melalui Annam, Tonkin, Indo Cina, Kamboja dan terus ke Asia Tenggara Kepulauan.
Namun, masyarakat setempat memiliki cerita-cerita rakyat mengenai asal-usul nenek moyang mereka. Konon, penduduk Kesultanan Buton adalah turunan dari 4 orang tokoh pertama yang datang ke Pulau Buton dari Semenanjung Johor di Malaka pada abad ke 13. Keempatnya adalah Sipanjonga, Sitamanajo, Sijawangkati, dan Simalui.
Menurut cerita dari masyarakat setempat, pemukiman pertama keempat tokoh pendiri kerajaan Buton berada di daerah Kalampa di Desa Katobengke, Bau-bau. Daerah inilah yang menjadi cikal-bakal wilayah kesultanan Buton.
Di Desa Katobengke, mereka membabat ilalang untuk mendirikan tempat tinggal. Pekerjaan membabat ilalang ini disebut "Welia" yang kemudian berubah menjadi Wolio sehingga penduduk daerah tersebut disebut orang Wolio. Kemudian dalam perkembangannya menjadi Kerajaan Buton-Wolio.
Selanjutnya, mereka bergabung dengan Kerajaan Tobe-tobe, yang ada di daerah timur. Makin lama Buton terus berkembang dengan dengan berdirinya pemukiman-pemukiman baru di sekitar Kalampa dan Wolio. Pemukiman-pemukiman itu berkembang menjadi kampung yang dikenal dengan Kampung Gundu-gundu dan Barangkatopa.
Seiring waktu, wilayah kekuasaan Kerajaan Buton semakin meluas. Mereka mendirikan pemukiman-pemukiman baru yang dikenal dengan Kampung Gundu-Gundu dan Barangkatopa. Pemimpin kampung tersebut kemudian diangkat menjadi menteri (bonto).
Selanjutnya dibentuk dua kampung lagi yaitu Peropa dan Baluwu. Dengan demikian sudah ada 4 menteri (bonto) di masa awal terbentuknya Kerajaan Buton.
Berikut nama-nama kampung dan menterinya yang ada pada awal terbentuknya kerajaan Buton:
1. Wilayah Barangkatopa dikepalai Bonto Sitamanajo.
2. Wilayah Gundu-gundu dikepalai Bonto Sijawangkati.
3. Wilayah Peropa dikepalai Bonto Betoamhari.
4. Wilayah Baluwu dikepalai Bonto Sangiariarana.
Keempat Bonto atau menteri ini kemudian membentuk lembaga pemerintahan yang disebut patalimbona. Pemerintahan ini terus mengalami perkembangan seiring berkembangnya wilayah kekuasaan pemerintahan kerajaan Buton.
Menteri yang ada di Kesultanan Buton terus bertambah hingga menjadi 9 menteri. Selanjutnya dikenal sebagai siolimbona yang artinya sembilan menteri utama.
Selanjutnya pengaruh agama Islam di Suku Buton...
Pengaruh Agama Islam dalam Suku Buton
Awalnya wilayah Buton berbentuk pemerintahan kerajaan dengan raja turun-temurun dari keturunan Dinasti Wa Khaa-Khaa yang berkuasa pada abad ke-13 hingga abad ke-16. Pengaruh Islam mulai masuk ke Buton pada masa pemerintahan raja keenam yang bernama Lakila-ponto.
Agama Islam masuk ke Buton dibawa oleh seorang ulama berkebangsaan Arab yang berasal dari Semenanjung Melayu (Johar) bernama Syeikh Abdul Wahid. Saat itu, kedatangan Islam diterima dengan baik.
Seiring berjalannya waktu, raja Lakila-ponto yang memerintah saat itu akhirnya memeluk Islam dan diberi gelar Sultan Muhammad Kaimuddin atau Sultan Marhum. Hal ini yang kemudian menandai perubahan sistem pemerintahan dari Kerajaan menjadi Kesultanan.
Sultan Marhum ini disebut sebagai raja terakhir sekaligus sultan pertama yang memerintah Kesultanan Buton. Sistem Monarki yang berlangsung kurang lebih dua abad diganti berdasarkan konstitusi Islam yang disebut Murtabat Tujuh.
Budaya Suku Buton
Mayoritas masyarakat Buton beragama Islam sehingga tradisi-tradisi dan budayanya sangat dipengaruhi tradisi Islam. Salah satu tradisi budaya yang cukup populer dari Suku Buton adalah tradisi kande-kandea yang masih dilakukan hingga hari ini.
Dilansir dari laman Kemdikbud.go.id, tradisi kande-kandea adalah tradisi makan bersama yang umum dilakukan oleh Masyarakat Buton. Biasanya tradisi ini dilakukan pada perayaan hari-hari besar seperti idul fitri.
Pada zaman dulu, tradisi ini dilakukan untuk menyambut pulangnya para prajurit laskar Kesultanan Buton dari medan perang. Jika laskar pulang membawa kemenangan, maka upacara ini akan lebih meriah lagi. Para gadis akan menyuapkan makanan ke anggota laskar sebagai penghargaan atas perjuangan di medan laga.
Bahasa Suku Buton
Dilansir dari website Dinas Pariwisata Sulawesi Tenggara, Buton memiliki keunikan dan ragam bahasa yang masih aktif digunakan hingga saat ini.
Setiap daerah di Buton memiliki bahasa dan dialek yang berbeda-beda. Maka tak heran jika berkunjung ke Buton, akan ada berbagai macam bahasa dan dialek yang didengar dalam percakapan sehari-hari.
Beberapa bahasa daerah tersebut di antaranya:
- Wolio
- Cia-Cia
- Pancana
- Kulisusu
- Busoa
- Kaimbulawa
- Kamaru
- Binongko
- Wanci
- Kaledupa
- Tomia