Ma'burasa merupakan salah satu tradisi masyarakat suku Bugis-Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) menjelang Lebaran. Ma'burasa berasal dari bahasa Bugis yang berarti membuat burasa', sebuah kuliner tradisional dari masyarakat Bugis-Makassar.
Burasa' terbuat dari beras yang dicampur santan dan diberi sedikit garam. Kemudian dibungkus dengan daun pisang dan diikat secara khusus. Setelah itu, burasa' lalu direbus dalam waktu yang cukup lama.
Kegiatan Ma'burasa menjadi tradisi turun temurun di masyarakat Bugis-Makassar. Tidak hanya melibatkan kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki. Ma'burasa biasanya dilakukan oleh masyarakat Bugis pada H-1 menjelang hari Lebaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budayawan Universitas Hasanuddin, Dr Firman Saleh mengatakan, tradisi Ma'burasa terjaga hingga saat ini karena masyarakat Bugis membawa kebiasaan ini kemanapun mereka pergi. Sebab menjadi pengingat tentang kebiasaan orang tua dahulu menjelang lebaran.
"Tradisi Ma'burasa itu kan tradisi khas masyarakat Bugis, yang bisa kita lihat kemanapun mereka pergi tradisi ini tetap dibawa. Misalnya, dia pergi jauh sampai ke Malaysia atau kemana, dia tetap melakukan ini. Karena ini menjadi semangat atau yang mampu mengingatkan mereka tentang kebiasaan-kebiasaan orang tua dulu," jelas Firman kepada detikSulsel pada Sabtu (23/4/2022).
Firman mengatakan, burasa' adalah identitas dari masyarakat Bugis-Makassar sebagaimana halnya ketupat bagi daerah lain. Sementara itu, pembuatan burasa' atau Ma'burasa adalah tradisi dan menjadi kebiasaan masyarakat Bugis-Makassar yang diajarkan secara turun temurun.
"Perlu diketahui bahwa bukan orang Islam saja yang melakukannya (Ma'burasa), malah ada yang non Islam juga melakukannya. Contoh, karena saya orang Sidrap, di Sidrap itu ada kelompok masyarakat Tolotang, menjelang Lebaran mereka lebih dulu jadi burasnya dibanding orang Islam. Kenapa, karena itu tadi ada sesuatu yang diajarkan dari generasi ke generasi," kata Firman.
Ma'burasa Ajarkan Gotong Royong dan Solidaritas
Pada zaman dulu, tradisi Ma'burasa dilakukan bersama-sama, baik dengan tetangga atau keluarga besar. Para perempuan baik ibu-ibu maupun anak-anak remaja duduk bersama untuk membungkus dan mengikat burasa' di salah satu teras rumah. Kemudian kaum laki-laki akan menyiapkan alat masak di atas tungku. Mereka bertugas untuk menjaga api tungku hingga burasa' matang.
Proses memasak burasa' cukup lama, yaitu sampai delapan jam. Setelah masak, hasilnya nanti akan dibagi sesuai dengan jumlah keluarga yang dimiliki.
"Ada nilai gotong royong atau kebersamaan yang dibangun. Biasanya masyarakat Bugis itu di suatu wilayah perkawinan kekerabatan itu masih kental sehingga yang ada dalam masyarakat itu masih saudara, kerabat. Di sekitaran mereka itu hampir semua keluarga, sehingga saat Ma'burasa itu ada satu tempat yang disepakati, akan ada pembagian antara siapa-siapa yang ada di antara mereka," jelas Firman.
Selain mengajarkan nilai gotong royong, melalui tradisi Ma'burasa ini juga diajarkan solidaritas. Melalui tradisi ini, masyarakat Bugis mengajarkan secara turun temurun sikap saling berbagi kepada keluarga yang kurang mampu. Sehingga menjaga nilai kebersamaan di dalam tatanan masyarakat.
"Melalui tradisi itu juga membangun kebiasaan atau sikap masyarakat Bugis, apabila ada yang kurang mampu, mereka berkumpul dan membagikan burasa' pada keluarganya yang kurang mampu itu. Adanya nilai kebersamaannya," tambah Firman.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan Ma'burasa saat ini hanya dilakukan oleh keluarga inti saja dan di rumah masing-masing. Ibu hanya melibatkan anak-anak perempuannya pada kegiatan Ma'burasa dan sang suami menjaga api hingga burasa' matang.
Meski begitu, menurut Firman nilai-nilai yang diajarkan dalam tradisi Ma'burasa tidak terkikis meskipun hanya dilakukan pada keluarga inti. Perubahan ini juga diakibatkan oleh kondisi perekonomian yang berubah. Namun, menurutnya tradisi Ma'burasa bersama keluarga besar ataupun tetangga masih dilakukan oleh masyarakat Bugis-Makassar di pedesaan.
"Sebenarnya sekarang juga masih ada, tapi itu lebih ke masyarakat pedesaan. Beda kalau dia sudah masuk perkotaan. Punya kesibukan masing-masing dan waktu yang berbeda, sehingga melakukannya sendiri-sendiri ataupun meminta keluarga untuk dibuatkan. Itu fenomena yang terjadi sekarang," jelasnya.
Ma'burasa Momen Mengajarkan Anak Membuat Burasa'
Selain mengajarkan nilai-nilai gotong royong dan solidaritas kepada generasi selanjutnya, tradisi Ma'burasa juga momen bagi orang tua mengajarkan membuat burasa' kepada anak-anaknya. Pasalnya, proses pembuatan burasa' bukanlah hal mudah. Selain itu, tradisi Ma'burasa biasanya hanya dilakukan dua kali dalam setahun.
"Ada teknik dan caranya. Itu juga menjadi pengetahuan warisan ke anak-cucunya. Karna kita ini generasi pelanjut atau generasi muda, masyarakat Bugis harus tahu untuk membuat burasa, karena itu khas dari masyarakat Bugis yang saat hari lebaran," kata Firman.
Burasa' tidak hanya dimasak sekali. Terlebih dahulu beras dimasak dengan santan yang cukup banyak dan ditambahkan sedikit garam. Setelah masak, kemudian dibungkus, diikat, lalu dimasak kembali dengan waktu cukup lama di atas tungku.
Membungkus dan mengikat burasa' tidaklah mudah. Beras yang sudah dimasak dengan santan dibungkus dengan daun pisang dengan bentuk pipih. Proses membungkusnya harus dilakukan satu persatu dengan mempertimbangkan takaran yang tepat. Setelah itu, burasa' diikat sampai padat agar tidak mudah terurai. Kadang kala, dua atau tiga tangkup burasa' diikat menjadi satu.
Tradisi Ma'burasa di Masyarakat Modern
Tradisi Ma'burasa saat ini masih terjaga di masyarakat Bugis meskipun tidak lagi dilakukan beramai-ramai. Hal ini terlihat di masing-masing rumah yang mulai sibuk menyiapkan perlengkapan Ma'burasa seperti daun pisang, beras dan kelapa setiap menjelang Lebaran.
Firman mengatakan, proses Ma'burasa dulu sepenuhnya menggunakan bahan dari alam. Bahannya seperti telah disebutkan, yakni beras, santan, dan sedikit garam. Kemudian pembungkusnya berupa daun pisang yang telah dijemur. Sementara pengikatnya terbuat dari serat batang pohon pisang yang telah dijemur terlebih dahulu.
"Dulunya itu pengikatnya menggunakan kulit pisang kering, dan semua dari alam. Pembungkusnya dari daun pisang, kemudian pengikatnya kulit pisang kering, Kemudian isinya dari beras dan dicampur dengan santan dimasak dulu, dibungkus dengan daun pisang kemudian dimasak lagi," tambah Firman.
Tidak seperti orang tua dahulu, saat ini berbagai kemudahan dapat digunakan untuk Ma'burasa. Seperti tersedianya daun pisang untuk membungkus yang perjualkan di pasar tradisional, serta menggunakan tali rafia sebagai pengikat burasa'
"Dari efektivitas dianggap bahwa dengan tali rafia itukan lebih mudah. Kalau kulit pisang itu kan harus dikeringkan dulu, tidak bisa langsung dipakai," ujar Firman.
Sementara bagi masyarakat dengan kesibukan tinggi, biasanya tidak lagi melakukan tradisi Ma'burasa, tetapi lebih memilih menggunakan jasa pembuatan burasa'. Hal ini biasa terjadi di wilayah perkotaan.
(asm/sar)